Lihat ke Halaman Asli

Fransiskus Nong Budi

Franceisco Nonk

Di Bawah Mendung dan Hujan

Diperbarui: 3 November 2018   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa menit telah berlalu. Tak ada orang yang tampak di halaman rumah. Seorang diri saya duduk di pendopo ditemani Android. Grup baru kami "Literasi For Donggala-Palu" menjadi hiburanku kala itu. 

Sembari menegok ke arah gerbang, apakah ada yang datang, sesekali saya memerhatikan jam di latar Android saya. 14.38 tampak di layar Android. 14.43 sebuah mobil masuk dari gerbang. Dalam benak saya, mungkin mereka yang telah membuat janji sudah tiba. 

Ternyata tidak. Mobil itu mungkin Grab yang menjemput seseorang. Dari kejauhan sepertinya saya mengenal orang yang dijemput, namun pikiran ini berlalu bersama keasyikan di dalam grup baru kami.

Sebuah motor ditumpangi dua orang, seorang bapak dan seorang anak, melintas di depan pendopo. Tanpa salam, tanpa sapa. Mereka berhenti di pojok rumah. Tak ada pertanyaan. Beberapa menit mereka menunggu sejenak di sana. 

Sambil melihati telepon genggam mereka masing-masing. Kemudian kembali pula mereka ke gerbang. Tiba mereka di gerbang, datang seorang gadis kecil berjalan kaki menuju gerbang. Di situ mereka saling bercakap. Anak yang tadinya menumpang Beat pun turun menyalami gadis kecil tadi. Dari kejauhan, pikirku, mungkin mereka bersahabat dan sudah membuat janji. 

Mereka ditinggal berdua oleh bapak pengendara Beat. Tiba-tiba datang pula seorang gadis kecil lainnya. Kali ini dengan mengayuh sepeda semi onthel tampak tua. Bertiga mereka tawa ria. Kemungkinan ada joke yang dibuat salah satu dari mereka.

Layar dasar Android saya 14.59. Dalam benak saya, perkara waktu dan janji ternyata rumit. Tak pernah mudah seperti yang dibayangkan. Juga tentang informasi. Saya diberitahu dengan permintaan untuk menghadiri acara ulang tahun pada 13.30. Menarik! Pesan yang saya terima ialah 13.30 atau 14.00-lah. Saya sudah berjuang untuk menepatinya. Istirahat siang saya, saya korbankan. Maklum saya baru saja kembali dari suatu acara. Tanpa istirahat, kecuali pembersihan diri.

Saya menimbang lagi, mungkin karena cuaca dan rutinitas lalulintas di sore hari jam kembali kantor atau kerja. Langit mendung. Angin menghembus dengan lebih kencang dari biasanya. Tanpa sweater, saya berada di atas kursi di pojok pendopo. Pandanganku ke arah beringin. Tampak indah beringin itu dengan latar belakang langit mendung. Saya melihat beringin sebagai sebuah pohon secara penuh dari arahku.

Tiba-tiba datang beriringan dua matic berboceng. "Hai..." terucap dengan lembut manja dari mulut salah seorang. Sapaan itu tentu untuk saya dan langsung kubalas juga dengan sapaan serupa bernada datar berenergi. Wajah mereka berempat tampak tidak asing bagi saya, tapi tak satu pun nama mereka yang kukenal. Aneka pertanyaan diajukan salah seorang dari antara mereka. Ia tampak seperti juru bicara mereka. 

Teman-temannya hanya seperti pendukung argumennya atau sesekali membenarkannya. Dengan kekalemanku, aku disebutnya tak bisa diajak bicara tanpa pertanyaan-pertanyaannya. Padahal aku memang dengan kedalaman bicara mendengarkan mereka. Aku dihujani mereka dengan aneka pertanyaan, dari yang bernada gurauan hingga yang lebih serius tapi tak berat. 

Di tengah banyaknya pertanyaan yang kujawab seperlunya dengan banyak pertimbangan dan pilihan kata, bukan hanya tepat tapi indah. Kuajukan pertanyaan tentang agenda yang akan kujalani. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline