"Pejabat kita bisa beli jam tangan ratusan juta, tapi beli dan baca satu buku aja kayaknya mustahil."
Di negeri ini, pejabat pamer gaya udah kayak rutinitas. Jam tangan mewah, mobil dinas, outfit branded... semua-muanya dipamerin.
Tapi coba cari satu unggahan mereka yang pamer buku, kutipan, atau bahkan rak bacaan. Jarang. Kalaupun ada, biasanya cuma buat pencitraan. Buku jadi properti, bukan sumber gagasan. Asli, the real Darurat Baca Pejabat.
Padahal, kata admin Kompasiana, dari bacaanlah lahir kebijakan yang nggak asal bunyi. Tanpa literasi, pejabat cuma bisa bikin kebijakan reaktif:
dangkal, jangka pendek, dan sering nggak nyambung sama realita rakyat.
Mereka sibuk ngurus citra, tapi lupa ngurus isi kepala.
Kenapa Buku Penting Buat Pejabat?
Karena jabatan itu bukan cuma soal tanda tangan, tapi soal keputusan. Dan keputusan yang lahir dari kepala kosong itu kayak mie instan tanpa direbus:
mentah, keras, dan bikin sakit perut.
Pejabat yang nggak baca itu kayak sopir angkot yang ngandelin insting buat belok. Kadang nyampe, kadang nyasar ke kebijakan absurd yang bikin rakyat bingung:
"Ini maksudnya apa sih?"