Pendahuluan
Ilusi Tentang "Yang Besar"
Di zaman yang serba viral, kita hidup dalam budaya yang memuja yang besar---prestasi besar, gerakan besar, pencapaian luar biasa. Ukuran menjadi tolok ukur segalanya: dari nilai kesuksesan sampai kebermaknaan hidup. Bahkan dalam perjalanan spiritual pun, banyak yang tanpa sadar terjebak pada anggapan bahwa untuk menjadi dekat dengan Tuhan, seseorang harus melakukan hal-hal besar---menghafal kitab suci, berjihad secara lahiriah, atau menjadi tokoh agama yang dikenal luas.
Namun, benarkah Tuhan hanya memperhatikan yang besar?
Di balik kemegahan amal lahiriah, ada lapisan yang kerap dilupakan: hal-hal kecil yang dilakukan dalam senyap, yang tidak terlihat manusia, tetapi bisa sangat dekat dengan pandangan Ilahi. Seorang ibu yang mengusap kepala anaknya dengan lembut, seorang ayah yang menahan amarah ketika hatinya mendidih, atau seorang diri ya bangun malam sekadar menitikkan air mata pada sajadah sunyi---apakah itu semua tidak lebih bergetar daripada sekadar gemuruh zikir tanpa kesadaran?
Tasawuf mengajarkan bahwa jalan pulang kepada Tuhan justru lebih banyak dilalui lewat kesadaran batin yang tersembunyi, bukan keramaian amal yang mencolok. Di sinilah kita diajak untuk meninjau ulang makna kedekatan spiritual: bukan seberapa besar yang kita kerjakan, tapi dari lapisan mana dalam diri kita ia dilakukan.
Karena bisa jadi, langkah kecil yang dilakukan dari kedalaman ruh dan kesadaran sejati, lebih diperhatikan oleh Allah dibanding ribuan langkah yang diambil hanya dengan tubuh dan pikiran semata.
Jihad Kecil yang Agung
Menemukan Keberanian dalam Senyap
Bagi sebagian orang, kata "jihad" mungkin membangkitkan gambaran pertempuran fisik atau perjuangan besar dalam skala sosial. Namun, dalam tradisi Islam yang lebih dalam---khususnya dalam warisan tasawuf---jihad sejati bukanlah tentang siapa yang paling berani di medan perang, tetapi siapa yang paling jujur melawan dirinya sendiri.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda setelah pulang dari medan perang:
"Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar."
Para sahabat bertanya, "Apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Jihad melawan diri sendiri."
Ucapan ini bukan hanya simbolik. Ia membuka pintu pemahaman bahwa pertempuran terdalam bukan di luar, tapi di dalam---melawan amarah yang membakar, dendam yang menggerogoti, keinginan untuk diakui, dan kerakusan untuk selalu merasa benar. Semuanya terjadi dalam ruang batin yang sunyi, tak terlihat, tak tercatat di headline media mana pun---tetapi sangat dicatat di langit.
Imam Al-Ghazali menyebut perjuangan melawan ego sebagai jihad akbar, karena musuhnya begitu dekat---menyamar sebagai suara dalam pikiran, logika, bahkan dalih kebaikan.