Walaupun sudah merdeka namun Belanda seakan tak rela melepaskan Indonesia yang merupakan bekas tanah jajahannya. Peristiwa yang terjadi pada 12 Oktober 1945 di bumi Padjajaran itu masih benar-benar membekas di ingatan seorang Mayor (Czi) Sanusi Hasan seakan peristiwa itu baru saja terjadi kemarin.
Sebelumnya Sanusi lahir di dalam keluarga yang , nyaman dan memiliki kehormatan yang tinggi. Hal ini sangat timpal jika dibandingkan keadaan manusia pribumi kala itu. Ayah Sanusi yaitu Raden Surawijaya merupakan Ambtenaar ( pegawai sipil kolonial Hindia Belanda) yang menjabat sebagai Staff Operasional Harian Staatsspoorwegen Nederlandsch-Indie (Djawatan Dinas Perkeretaapian Hindia Belanda) yang berada dalam pimpinan Kepala Inspektur di Bandung.
Namun kehangatan keluarga itu berubah menjadi kenangan semenjak tragedi saat transisi kekuasaan antara Belanda kepada pihak Jepang yang mengaku datang sebagai saudara tua yang memimpin Asia.
Peralihan Staatsspoorwegen menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api) serta pembunuhan dan pemerkosaan putri pertama Raden Surawijaya yang bernama Kartina oleh Kempetai (Tentara Dai Nippon) masih benar-benar membekas dalam diri Surawijaya dan keluarganya.
Tak berhenti disitu putranya yaitu Sanusi Hasan terpaksa putus sekolah dari Algemenee Middle Bare School afdeeling B (AMS bagian B jurusan Ilmu pasti dan alam) pada 1942 akibat menyerahnya Belanda. Bangunan sekolah tempat ia memandu kasih dengan buku pelajaran pun dialihfungsikan sebagai tangsi oleh Kempetai (Tentara Dai Nippon).
Keluarganya yang terpecah akibat perbedaan jalan. Raden Surawijaya selaku ayah dari Sanusi Hasan lebih condong ke pihak Belanda. Kenangan dan tragedi saat transisi kekuasaan antara belanda dan Jepang menyisakan kenangan buruk bagi Sutawijaya. Peralihan Staatsspoorwegen menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api) serta pembunuhan dan pemerkosaan putri pertama nya oleh Kempetai (Tentara Dai Nippon) masih benar-benar membekas dalam dirinya.
Sedangkan Sanusi Hasan seorang jenius dibidang eksata yang terpaksa putus sekolah dari Algemenee Middle Bare School afdeeling B (AMS bagian B jurusan Ilmu pasti dan alam) pada 1942 akibat menyerahnya Belanda . Bangunan sekolah tempat ia memadu kasih dengan buku pun dialihkan fungsikan sebagai tangsi oleh kempetai Jepang.
Saat Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942, perusahaan kereta Api di Indonesia diambil alih oleh Jepang dan berganti nama menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api) operasional kereta di fokuskan untuk kepentingan perang dan mengangkut hasil-hasil tambang berupa batubara untuk kepentingan perang Asia-Pasifik. Dalam kecamuk keluarga Sanusi berada dalam situasi pelik. Ayahnya mendapatkan tekanan akibat pekerjaan Rikuyu Sokyuku yang amoral, Rustina yang mati akibat dipaksa menjadi Jugun Ianfu, ibu Sanusi yang depresi akibat kehilangan putrinya. Sanusi sebagai pemuda pun terpaksa ikut Heiho (Satuan Pembantu Tenara). Namun di Heiho itulah Sanusi tumbuh menjadi pribadi patriotik yang cinta akan tanah airnya.
Hari demi hari, dimana ada pertempuran pasti ada kerusakan. Entah itu pada benda hidup maupun benda mati seperti bangunan serta infrastruktur. Karena kemampuan dan nilainya yang tinggi pada bidang eksakta Sanusi dididik sedemikian rupa untuk menjadi seorang insinyur yang handal oleh Adolf Gustaaf Lembong yang dulunya memang berasal dari kesatuan Wapen der Genie (kesenjataan Zeni KNIl). Selain belajar tentang keteknikan dia juga diajari bagaimana berkomunikasi melalui gelombang radio.
Meskipun Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 perjuangan bukan berarti sudah usai. Pada 28 September 1945 merupakan puncak pengambil alihan Kantor Pusat Kereta Api di Bandung, sontak secara strategis maka Raden Surawijaya yang dulunya Ambtenaar rendah menjadi Inspektur Pengawas bagi seluruh layanan operasional Perkeretaapian di Bandung.
Pada 12 Oktober 1945 AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pasukan gabungan Belanda (NICA) dan Inggris (Gurkha) menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Sambutan hangat dari masyarakat Indonesia yang kala itu mengira AFNEI telah datang untuk menjaga perdamaian, membebaskan tawanan perang, dan melucuti orang-orang Jepang itu hanya ekspetasi belaka. Sebab kedatangan pasukan Belanda dan sekutu tak lain dan tak bukan untuk menguasai Indonesia kembali. Pasukan sekutu mulai mempropagandakan supaya rakyat Indonesia meletakkan senjatanya dan menyerahkannya pada pihak sekutu.