Di era digital seperti saat ini, hampir setiap anak dan remaja aktif di media sosial seperti: Instagram, TikTok, Facebook, hingga WhatsApp. Platformplatform ini memudahkan komunikasi, berbagi konten, dan bahkan proses pembelajaran. Namun, di balik kemudahan tersebut muncul ancaman serius berupa child grooming dan kekerasan seksual online, yang dapat merusak perkembangan mental serta emosional anakanak (UNICEF, 2021).
Sebagai respons terhadap fenomena tersebut, sembilan mahasiswa kelas 06 Hukp 002 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pamulang (Unpam) menyelenggarakan PKM di SMP Negeri211 Jakarta Selatan pada 16April2025. Kegiatan ini bertujuan:
- Memberi pemahaman tentang bahaya child grooming dan kekerasan seksual.
- Menanamkan kesadaran empati demi terciptanya lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan inklusif (Laporan Kegiatan PKM Unpam, 2025).
Pengetahuan mengenai kekerasan seksual pada anak sangat penting sebagai fondasi pencegahan. Contohnya, prinsip "Body Safety Rules" yakni, mengenali bagian tubuh yang tidak boleh disentuh atau diperlihatkan sebagaimana yang dianjurkan KPPPA sebagai langkah protektif dasar (KPPPA, 2023).
Untuk mengevaluasi seberapa baik peserta memahami materi, kami menggunakan kuis interaktif melalui aplikasi Quizizz. Metode ini mendukung upaya Kemendikbudristek dalam meningkatkan literasi digital secara menyenangkan dan interaktif di sekolah (Kemendikbudristek, 2021).
Capaian peserta setelah mengikuti kuis usai pemberian materi
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian remaja, tetapi platformplatform tersebut juga memberi ruang bagi pelaku melakukan child grooming. Melalui pesan pribadi, video call, dan berbagi konten emosional, pelaku membangun kepercayaan korban secara bertahap yang seringkali tanpa disadari oleh anak maupun orang tua sebelum pelaku melancarkan pelecehan seksual (Interpol, 2023; ECPAT International, 2022).
17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak serta UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kedua undangundang ini mengatur sanksi pidana bagi pelaku pelecehan seksual dan pelanggaran privasi digital. Namun, penegakan yang belum optimal dan minimnya literasi hukum di masyarakat masih menjadi hambatan utama (Komnas Perlindungan Anak, 2024).
Beberapa platform media sosial kini telah memperketat verifikasi usia, memudahkan pelaporan, dan menghapus akun predator seksual. Meski demikian, upaya ini belum maksimal tanpa pendampingan keluarga dan pendidikan keamanan digital di sekolah (Meta Transparency Report, 2023).
Pencegahan kekerasan seksual digital tidak dapat berjalan efektif jika hanya mengandalkan satu pihak. Maka dari itu orang tua perlu aktif membangun komunikasi terbuka dan mendampingi anak saat menggunakan handphone atau alat elektrnonik lainnya terlebih ketika menggunakan media sosial, sementara sekolah harus mengintegrasikan keamanan digital ke dalam kurikulum guna membekali siswa dengan keterampilan kritis. Di sisi lain, platform media sosial wajib memperkuat moderasi konten, mempercepat mekanisme pelaporan, serta memastikan proses verifikasi usia yang ketat. Terakhir, aparat penegak hukum harus mampu merespons setiap laporan dengan cepat dan transparan agar pelaku ditindak secara tegas. Hanya melalui kolaborasi menyeluruh antara keluarga, lembaga pendidikan, penyedia platform, dan penegak hukum, perlindungan anak dari kejahatan seksual berbasis teknologi dapat terwujud secara optimal (OECD Digital Education Policy, 2022).
Dengan pendekatan ini, media sosial tidak hanya menjadi potensi ancaman, tetapi juga bisa difungsikan sebagai sarana edukasi dan pencegahan. Selain itu, penguatan regulasi dan penegakan hukum perlu terus ditingkatkan agar anakanak Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman---baik secara fisik maupun digital---selaras dengan praktik perlindungan anak di negaranegara maju (UNESCO, 2021; Save the Children, 2023).