Lihat ke Halaman Asli

Fahmi Ramadan

Petani (Penyangga Tatanan Negara Indonesia)

Pendidikan atau Pendisiplinan? Menakar Efektivitas 'Barak Militer' ala KDM

Diperbarui: 4 Mei 2025   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ilustrasi Ai terkait Siswa di Barak militer)

Konsep Barak Militer

Barak militer secara historis merupakan tempat yang di desian untuk membentuk kedisiplinan, kepatuhan, dan ketangguhan fisik melalui sistem pelatihan yang keras, terstruktur dan hirarkis. Dalam konteks pembinaan siswa bermasalah, pendekatan ini diterjemahkan sebagai upaya pembentukan karakter melalui metode semi-militeristik, seperti pelatihan fisik, kegiatan baris-berbaris, dan aturan ketat harian yang menuntut kepatuhan penuh. Tujuannya adalah mengatasi kenakalan remaja dan perilaku menyimpang dengan menciptakan lingkungan yang "keras tapi membina". Kebijakan ini kerap digunakan sebagai bentuk shock therapy agar siswa menyadari kesalahannya dan kembali ke jalur yang dianggap benar oleh otoritas pendidikan. Namun, penerapan konsep barak militer terhadap anak usia sekolah menimbulkan pertanyaan besar, terutama jika ditinjau dari pendekatan pedagogis modern. Barak tidak dirancang untuk proses belajar yang memanusiakan, melainkan untuk menciptakan prajurit. Ketika model ini digunakan dalam dunia pendidikan, ada risiko bahwa karakter anak yang sedang dalam masa pencarian jati diri justru dipaksa untuk tunduk pada struktur yang tidak memberikan ruang refleksi, partisipasi, atau kasih sayang yang menjadi fondasi pendidikan yang sehat.

Konsep Pendidikan yang Baik

Dalam literatur akademik, konsep pendidikan yang baik senantiasa menempatkan anak sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran, bukan objek yang harus 'ditundukkan'. Menurut Piaget, Vygotsky, dan pendekatan konstruktivis lainnya, anak-anak belajar secara optimal ketika mereka diberi ruang untuk berpikir kritis, berekspresi, dan mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan yang baik juga bersifat inklusif, partisipatif, dan berorientasi pada pengembangan potensi individual, bukan sekadar penyeragaman perilaku.

Selain itu, pendidikan yang baik juga harus memenuhi prinsip safe, supportive, and empowering environment. Artinya, anak-anak harus merasa aman, didukung, dan diberdayakan dalam lingkungan belajarnya. Ketika pendekatan militeristik diterapkan, ada risiko anak justru merasa terancam, mengalami tekanan psikologis, dan akhirnya kehilangan motivasi belajar.

Konsep Cara Menangani Anak Nakal

Perilaku yang dianggap nakal seringkali merupakan manifestasi dari masalah yang lebih dalam, seperti gangguan emosi, trauma, kurangnya kasih sayang, atau pengaruh lingkungan sosial yang negatif. Oleh karena itu, pendekatan ilmiah dalam menangani mereka harus berangkat dari "pemahaman, bukan penghukuman".

Pendekatan pertama yang direkomendasikan dalam banyak literatur akademik adalah assesmen psikologis dan sosial. Anak perlu dipahami secara menyeluruh: latar belakang keluarga, kondisi emosi, riwayat pengalaman traumatis, hingga hubungan dengan teman sebaya. Dari sini, intervensi bisa disesuaikan dengan kebutuhan, bukan dipukul rata. Misalnya, anak yang agresif karena kekerasan di rumah akan membutuhkan pendekatan yang berbeda dari anak yang bolos karena merasa tidak dianggap di sekolah.

Selanjutnya, pendidikan restoratif (restorative education) menjadi pendekatan kunci. Konsep ini tidak hanya berfokus pada "apa yang salah", tapi juga bagaimana memperbaiki hubungan, membangun tanggung jawab, dan memulihkan harga diri anak.  Selain itu, penguatan pendidikan karakter berbasis kasih sayang (compassion-based education) juga menjadi strategi utama. Guru dan pendidik harus dilatih untuk menjadi figur otoritas yang tetap hangat dan mendukung, bukan mengancam. Model relasi yang empatik dan terbuka memungkinkan anak merasa diterima meski melakukan kesalahan, dan dari situlah proses perubahan dimulai.

Terakhir, keterlibatan keluarga dan komunitas juga krusial. Anak tidak bisa diubah hanya melalui hukuman atau intervensi instan. Diperlukan pendekatan sistemik yang melibatkan sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial secara bersama-sama, menciptakan konsistensi nilai dan pola asuh yang sehat.

Menganalisis Jenis Kebijakan yang diambil oleh KDM

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline