Lihat ke Halaman Asli

Eza Ihza Mahendra

Alumni Pendidikan Sejarah UNJ dan Pendidikan Profesi Guru UNTIRTA

Revivalisme Agama dalam Pemberontakan Petani Banten 1888

Diperbarui: 6 Juni 2025   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu keluarga yang baru pulang dari Makkah tiba di Tanjung Priok (Sumber: Daniel van der Muelen - Tropenmuseum/@potretlawas Twitter)

Sepanjang akhir abad ke-19 adalah suatu periode yang penuh dengan konflik dan ketegangan, di mana terjadi pemberontakan-pemberontakan dihampir seluruh wilayah di pulau Jawa.  Pemberontakan-pemberontakan ini dilakukan oleh para petani yang dipimpin oleh kaum ulama -- sebagai kekuasaan alternatif dari kekuasaan formal pemerintah kolonial Belanda -- sebagai akibat dari terjadinya perubahan sosial yang begitu cepat di tengah-tengah masyarakat. Salah satu yang populer adalah Pemberontakan Petani Banten tahun 1888, di mana peristiwa ini sebenarnya dengan sangat baik dipaparkan dalam studi Sartono Kartodirdjo yang berjudul "The peasant's revolt of Banten in 1888: its conditions, course, and sequel" -- tulisan-tulisannya tentang berbagai masalah dan peristiwa sejarah sejauh mungkin selalu berusaha mendapatkan kearifan (kebijaksanaan) dan kepekaan akademis dari kesadaran humaniora (humanities).

Pemberontakan Petani Banten tahun 1888 adalah sebuah gerakan protes sosial atas perubahan sosial yang dipaksakan oleh kekuasaan Barat. Akan tetapi, menariknya adalah pemberontakan ini bukan hanya sekedar social movement, pemberontakan ini sangat erat kaitannya dengan hasrat untuk menghidupkan kembali keadilan yang Islami dalam impian kekuasaan Islam yang sejati, disertai bayang-bayang kejayaan di masa lalu yang enggan hilang dalam kerinduan kultural dan politik kesultanan Banten.

Akhir abad ke-19 adalah periode Revivalisme Agama hampir di seluruh wilayah pulau Jawa. Dalam konteks Banten, akan sangat masuk akal jika Revivalisme Agama menjadi tumbuh dengan sangat subur karena kondisi-kondisi yang terdapat dalam lingkungan sosio-kultural di Banten. Masyarakat Banten dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat, sehingga ambruknya tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya -- yang kemudian menjadi keresahan sosial (social unrest) -- mendorong peningkatan di bidang keagaman. Dengan kata lain, gerakan kebangkitan agama di Banten menjadi sebuah produk kekuatan sosial yang menunjang sikap memberontak.

Sebagai sebuah produk kekuatan sosial yang berjalan paralel dengan ambruknya tatanan tradisional sejak runtuhnya kesultanan Banten di awal abad ke-19. Gerakan kebangkitan keagamaan itu berusaha mewujudkan aspirasi politik, serta menjadi saluran ketidakpuasan dan rasa frustasi -- sebagai akibat dari perubahan sosial yang begitu cepat. Revivalisme Agama menjadi alat pengerahan orang-orang guna melakukan pemberontakan yang didasari hasrat kebencian terhadap kekuasaan Barat yang dipaksakan dan penolakan atas kekuasaan kafir -- suatu hal yang inheren dalam semangat keagamaan yang berkobar-kobar ini adalah bertambah besarnya kebencian terhadap orang-orang Barat yang dianggap sebagai orang-orang kafir.

Dalam membahas Revivalisme Agama -- dalam konteks ini kebangkitan agama Islam -- yang terjadi di Banten kemudian terwujud dalam dua tanda, yaitu peningkatan jumlah pesantren dan orang-orang naik haji. Tanda pertama sentimen revivalis adalah terus bertambahnya orang yang menunaikan ibadah haji pada abad ke-19. Meningkatnya kegiatan ibadah haji sangat penting artinya, mengapa? Karena ibadah haji tidak hanya penting untuk penyebaran pembaruan di seluruh dunia Islam, tetapi juga bagi pertumbuhan golongan elite agama. Dengan demikian, Makkah dapat dianggap sebagai jantung kehidupan agama Islam di Indonesia. Tanda kedua yang tampak berkaitan dengan semangat kebangkitan kembali agama Islam di Banten terwujud dalam pertumbuhan fenomenal pesantren yang berfungsi sebagai tempat pendidikan partisipan pergerakan yang militan. Dalam hubungan ini, penetrasi Westernisme yang terjadi secara progresif menjadi faktor yang mempercepat prosesnya.

IBADAH HAJI: sumber sosial bagi revitalisasi kehidupan agama

Ilustrasi ibadah haji (Sumber: @prophetofzorck/Twitter)

Ada anggapan populer di kalangan penduduk bangsa Eropa tentang arti Makkah pada periode itu. Dari sudut pandang Barat pada umumnya dan pemerintah kolonial pada khususnya, Makkah hanyalah tempat persemaian fanatisme keagamaan, di mana orang-orang yang menunaikan ibadah haji akan ditanamkan rasa permusuhan terhadap para penguasa Kristen di tanah air mereka. Hal tersebut didasari oleh pengamatan penguasa kolonial terkait fenomena meningkatnya orang-orang yang pergi haji berjalan paralel dengan terjadinya sejumlah kerusuhan yang terus-menerus di Hindia-Belanda dalam paruh akhir abad ke-19, sehingga menyebabkan perhatian penguasa kolonial semakin ditujukan kepada pengaruh yang datang dari Mekkah. Berbagai langkah diambil untuk membuat seluruh penyelenggaraan perjalanan naik haji berada di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial. Kembali kepada arti Makkah: tentu saja akan sangat berlebihan untuk menganggap setiap orang yang naik haji sebagai seorang fanatik atau pemberontak. Sebenarnya untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai "arti Makkah" kita dapat kembali kepada pandangan para pengamat di masa itu yang berpendapat bahwa arti penting dari perjalanan haji harus dicari di tingkat ideologis.

Pada paruh kedua abad ke-19, dengan kemajuan yang berhasil dicapai oleh Imprealisme Barat di Timur Tengah dan Afrika Utara, bangsa-bangsa yang beragama Islam kian melemah dan terpaksa defensif. Pada periode ini, Mekkah berperan penting dalam menjadi tempat perlindungan bagi para fundamentalisme Islam yang keras. Oleh karenanya hal tersebut menyebabkan timbulnya sikap anti-Barat yang intens dan melekat dalam semangat orang-orang di Mekkah, serta yang menyebar ke Nusantara melalui para jemaah haji.

Kemudian pertanyaan menariknya adalah mengapa rezim kolonial tidak melarang orang-orang untuk pergi haji jika memang hal tersebut membahayakan eksistensi mereka di tanah jajahan? Untuk dapat menjawab pertanyaan itu kita tidak boleh lupa bahwa kebijakan Belanda terkait agama itu bercorak liberal yang memberikan ruang gerak pada berbagai macam gerakan keagamaan. Bagaimanapun juga, pemerintah kolonial tidak dapat melarang atau menghentikan perjalanan haji, sebab kebiasaan itu di banyak daerah berakar sangat kuat dalam kehidupan beragama masyarakat. Terlebih lagi di Banten, dengan tradisinya yang kuat dan berasal dari awal masa kesultanan. Perjalanan yang berbahaya tidak dapat menghalangi para calon jamaah haji untuk menunaikan ibadah tersebut. Berbagai macam himbauan, peringatan, apalagi larangan hanya akan mendapatkan perlawanan yang sangat besar. Kebangkitan kembali agama tidak hanya mempertajam kepekaan elite agama di Hindia-Belanda terhadap penetrasi progresif dari Barat, tetapi juga menguasai gerakan protes agama. Dalam hubungan ini, seperti yang dikatakan oleh Snouck Hurgronje Makkah menjadi sumber spiritual.

PESANTREN: alat pengendalian ideologi

Aktivitas sebuah pondok pesantren di pulau Jawa pada masa Hindia-Belanda (Tropenmuseum)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline