Pendahuluan
Fenomena golongan putih (golput), yaitu tindakan tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, telah menjadi isu serius dalam demokrasi. Dalam Islam, partisipasi dalam urusan publik bukan hanya hak, tetapi juga amanah dan bentuk ibadah sosial. Karena itu, fenomena golput perlu ditinjau secara mendalam dari perspektif tafsir, khususnya tafsir kontemporer yang sensitif terhadap isu-isu sosial-politik modern.
Kewarganegaraan, Musyawarah, dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam Al-Qur'an, konsep syura (musyawarah) menjadi salah satu prinsip dasar dalam pengambilan keputusan kolektif. QS. Ash-Shura [42]: 38 menyatakan:
"...dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka."
Dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat ini merupakan landasan bagi partisipasi rakyat dalam menentukan arah negara. Pemilu, menurut beliau, adalah bentuk modern dari musyawarah, dan partisipasi di dalamnya mencerminkan tanggung jawab sosial umat Islam dalam menjaga kemaslahatan publik (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 12, h. 410).
Kesaksian dalam Pemilu: Tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 282
"Dan janganlah para saksi enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil..."
Ayat ini secara langsung berbicara tentang tanggung jawab memberikan kesaksian dalam konteks transaksi, namun dalam Tafsir al-Maraghi, Ahmad Mustafa al-Maraghi menyatakan bahwa ayat ini juga mengandung prinsip umum bahwa siapa pun yang diminta untuk bersaksi dalam urusan yang menyangkut hak orang lain, maka wajib memberikan kesaksiannya (Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 3, h. 120).
Dalam konteks pemilu, memberikan suara merupakan bentuk kesaksian terhadap siapa yang dianggap layak memimpin. Golput berarti menolak memberikan kesaksian atas calon-calon yang ada, yang dalam konteks sosial-politik dapat berdampak serius.
Prinsip Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Relevansinya