Empat puluh delapan tahun lalu, Mochtar Lubis menyingkap wajah bangsa ini: munafik, feodal, boros, tukang gengsi, dan enggan bertanggung jawab. Waktu itu banyak yang tersinggung, merasa digurui, bahkan menganggap kritik itu berlebihan. Tapi hari ini, saat kita bercermin, bayangan itu justru makin jelas---bedanya kini berjas mahal, duduk di kursi empuk parlemen, dan rajin memamerkan gaya hidup mewah di media sosial. Kritik yang dulu dianggap penghinaan, ternyata lebih mirip ramalan yang menjadi kenyataan.
Contoh terbaru datang dari Senayan. Dengan ringan tangan, DPR menaikkan tunjangan sewa rumah bagi anggotanya. Rakyat marah, wajar saja: kontrakan makin mahal, harga beras naik, listrik naik, banyak keluarga harus mengencangkan ikat pinggang. Namun wakil rakyat justru menambah uang kontrakan untuk dirinya sendiri. Apa yang dikatakan pimpinan mereka? "Kami akan menampung aspirasi rakyat." Kalimat manis yang fungsinya tak lebih dari vas bunga di meja rapat---cantik sebentar, layu kemudian. Aspirasi ditampung, tapi keputusan jalan terus.
Di sinilah wajah munafik yang dipotret Mochtar Lubis tampak hidup. Ada kepura-puraan peduli, padahal yang dijaga bukan kepentingan rakyat, melainkan kenyamanan diri. Retorika indah jadi obat penenang, bukan solusi. Dari balik kata-kata, berdiri tegak mentalitas feodal yang tak pernah mati. Konstitusi kita republik, tapi politiknya kerajaan. Pejabat lebih mirip bangsawan ketimbang pelayan. Mereka bergelimang fasilitas: rumah dinas, mobil dinas, ajudan, protokoler. Seolah jabatan adalah hak turun-temurun, bukan amanah yang bisa dicabut kapan saja oleh rakyat.
Kadang terasa lucu sekaligus getir: republik ini dipenuhi "raja-raja kecil." Anggota DPR bisa disebut raja kontrakan---bukan karena membangun rumah untuk rakyat, melainkan karena tunjangan sewa rumah mereka naik sementara rakyat sendiri kesulitan membayar kontrakan. Bedanya, rakyat kalau telat bayar bisa diusir pemilik rumah. Raja kontrakan di Senayan cukup bilang: "Itu hak kami." Republik pun berubah menjadi kerajaan feodal dengan istana kontrakan yang ongkosnya ditanggung bersama.
Dan wajah feodalisme itu tidak hanya terlihat di gedung parlemen. Ia juga hidup di kantor-kantor pemerintahan, bahkan di organisasi masyarakat. Seorang pejabat merasa lebih pantas dihormati daripada melayani, seorang birokrat menuntut dilayani dulu sebelum memberi pelayanan. Dalam urusan kecil---cap basah, tanda tangan, surat rekomendasi---rakyat kerap dipaksa tunduk pada ritual penghormatan yang tak jauh berbeda dengan budaya istana. Jabatan jadi jubah sakral, bukan alat kerja. Tidak heran bila banyak orang lebih sibuk mengejar gelar dan posisi, ketimbang mengerjakan fungsi yang sesungguhnya. Kita hidup dalam republik, tapi mentalitas sosial masih terikat pada hierarki priyayi-abdi.
Dan bukan hanya soal uang atau fasilitas. Simbol-simbol kehormatan republik pun ikut mengalami degradasi. Dulu Bintang Mahaputra bersinar di dada Soedirman, Natsir, dan Ki Hajar Dewantara---tokoh dengan pengabdian nyata dan abadi. Kini, sebagaimana disindir Yudi Latif, bintang itu kerap jatuh menjadi sekadar bros pesta politik. Hadiah untuk kesetiaan pada penguasa, bukan tanda jasa pada bangsa. Dari mahkota kenegaraan ia merosot menjadi souvenir kekuasaan. Jika dulu bintang memantulkan cahaya pengorbanan, sekarang ia hanya lampu sorot sesaat di panggung politik.
Tak berhenti di situ. Gaya hidup hedon juga jadi tontonan harian. Jam tangan mewah, pesta besar, liburan ke luar negeri, bahkan deretan mobil sport dipamerkan terang-terangan. Semua itu bukan sekadar soal selera pribadi, melainkan representasi budaya gengsi yang telah lama mengakar. Dulu hanya bangsawan atau kaum priyayi yang bisa hidup boros, sekarang siapa pun yang berhasil memenangkan pemilu bisa seketika menjelma bangsawan baru.
Di ruang publik, rakyat menonton drama yang sama: elit politik bicara soal penderitaan rakyat di podium, lalu beberapa menit kemudian memperlihatkan foto pesta di Instagram. Paradoks ini bukan sekadar soal moral, melainkan soal struktur: jabatan dipahami bukan sebagai ruang pengabdian, melainkan sebagai tiket naik kelas sosial.
Ketika rakyat marah, elite selalu punya jurus pamungkas: menyebutnya ulah segelintir provokator. Sama seperti istilah "oknum" yang selalu dipakai untuk menutupi kesalahan aparat atau pejabat. Dengan begitu, tanggung jawab pribadi atau institusi bisa lepas. Akar masalah dibiarkan, cukup ditutup dengan kata ajaib: oknum.
Bahasa memang jadi senjata ampuh. Korupsi disebut "penyalahgunaan wewenang." Pencopetan uang rakyat berubah jadi "gratifikasi." Pemberian fasilitas baru disebut "penyesuaian." Kita pandai menamai kebusukan dengan kata-kata indah, seolah semuanya sah dan wajar. Ironisnya, eufemisme semacam ini sering lebih efektif membungkam kemarahan ketimbang janji pembangunan.
Mochtar Lubis pernah menulis dengan getir. Kita membacanya dengan tersinggung, seolah ia terlalu keras menilai bangsa sendiri. Tapi kini, bukannya memperbaiki diri, kita justru menjalani peran itu dengan bangga. Kita republik di atas kertas, tetapi kerajaan dalam kenyataan. Ada raja-raja kontrakan, ada bintang souvenir, ada pesta gengsi yang tak pernah usai. Dan ongkos semua itu, lagi-lagi, ditanggung oleh rakyat.