Lihat ke Halaman Asli

Dudun Parwanto

Penulis, Traveler

Reposisi Bank Sentral dalam Mewujudkan Smart Citizen yang Melek Ekonomi

Diperbarui: 14 Juni 2025   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam lanskap ekonomi yang kian kompleks dan terdigitalisasi, tantangan utama negara berkembang bukan hanya menjaga stabilitas makro, tetapi membangun kecerdasan finansial warga untuk memperkuat ketahanan ekonomi mikro. Ketika inklusi keuangan terus meningkat tanpa disertai pemahaman yang memadai, masyarakat justru berada dalam posisi rentan terhadap guncangan ekonomi dan risiko sistemik baru.

Di sinilah reposisi peran Bank Sentral---dalam hal ini Bank Indonesia---menjadi penting, yakni sebagai fasilitator penguatan literasi ekonomi masyarakat berbasis komunitas dan berbasis data.

 

Literasi Ekonomi: Kesenjangan antara Akses dan Pemahaman

Laporan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK tahun 2023 menunjukkan gap yang signifikan: inklusi keuangan nasional telah mencapai 85,10%, sementara literasi keuangan baru menyentuh 49,68%. Artinya, terdapat 35% lebih masyarakat yang memiliki akses layanan keuangan tanpa pemahaman memadai terhadap manfaat, risiko, serta dampak jangka panjangnya.

Kondisi ini berisiko memicu ketergantungan terhadap pinjaman konsumtif, maraknya praktik paylater tanpa perencanaan, serta kerentanan terhadap investasi ilegal (scam). Dalam skala nasional, hal ini berpotensi menciptakan gelembung ekonomi mikro yang sulit dikendalikan dari sisi moneter.

Tradisionalnya, Bank Sentral berperan menjaga stabilitas moneter, pengelolaan nilai tukar, serta sistem pembayaran. Namun, perkembangan teknologi keuangan (fintech), digitalisasi UMKM, dan krisis multidimensi (pandemi, geopolitik, iklim) mendorong perlunya perluasan mandat strategis yang lebih inklusif.

Bank Indonesia sudah merintis hal ini melalui program seperti Cinta, Bangga, Paham Rupiah, serta BI Mengajar. Namun ke depan, pendekatannya perlu semakin terstruktur, adaptif terhadap profil sosial ekonomi masyarakat, dan terintegrasi dengan platform edukasi digital maupun komunitas lokal.

Saya mengusulkan inisiatif yang lebih teknokratis, yakni pembentukan model baru bernama:

"Sekolah Keluarga Melek Ekonomi" (Community-Based Financial Resilience Hubs)

Program ini berbentuk pelatihan terstruktur bagi keluarga dan pelaku ekonomi mikro (khususnya perempuan, buruh, dan pelaku informal), yang dilaksanakan secara hibrida (offline berbasis RW dan daring berbasis platform). Materi utama:

  • Dasar pengelolaan keuangan rumah tangga dalam konteks inflasi dan suku bunga
  • Pemahaman instrumen keuangan (tabungan, pinjaman, asuransi, investasi)
  • Simulasi risiko ekonomi keluarga (PHK, krisis harga pangan, gagal bayar)
  • Literasi sistem pembayaran digital dan keamanan data pribadi
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline