Sejak 28 Agustus lalu, Jakarta kembali akrab dengan kelas digital. Suhu politik yang kian panas membuat banyak sekolah memutuskan untuk melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Bukan karena banjir atau bencana, melainkan karena faktor keamanan dan kehati-hatian. Lonceng sekolah kini berbunyi di layar gawai, bukan lagi di koridor yang riuh.
Absen tidak lagi ditandai coretan pena di buku, tetapi kehadiran di kolom chat atau kamera yang menyala. Seolah kita mengulang bab lama yang sudah sempat ditutup: bagaimana rasanya sekolah kembali berpindah ke dunia virtual?
Pertanyaan yang muncul di ruang guru, grup orangtua, hingga forum publik sama: lebih melelahkan mana, sekolah tatap muka atau PJJ?
Pertanyaan ini sederhana, tetapi jawabannya tidak tunggal. Tatap muka dan PJJ sama-sama menyimpan lelah, hanya saja bentuknya berbeda wajah. Di titik ini, kita perlu menyelami ulang: apa yang sesungguhnya terjadi ketika kelas dipindahkan dari papan tulis ke layar?
Lelah yang Berlapis
Kelelahan tatap muka identik dengan energi fisik dan sosial. Murid berangkat pagi, menempuh perjalanan yang penuh macet, lalu melewati jam-jam belajar dengan segala riuh rendah kelas. Guru pun harus bersuara lantang, berjalan dari satu sudut kelas ke sudut lain, sekaligus mengelola interaksi yang kadang tak terduga.
Ada energi yang terkuras, tetapi di sisi lain, interaksi tatap muka memberi ritme alami: jeda di kantin, tawa di sela pelajaran, atau bahkan sekadar langkah berpindah ruang yang membantu otak beristirahat.
Sebaliknya, PJJ menghadirkan jenis lelah yang lebih sunyi: kognitif dan emosional. Murid harus duduk menatap layar berjam-jam, berusaha fokus di tengah distraksi rumah, sambil menanggung beban tugas digital yang sering kali menumpuk.
Guru pun mengalami tekanan berbeda. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga mengelola teknologi, memastikan sinyal stabil, serta merancang materi yang bisa tetap hidup di layar. Kelelahan ini tidak kentara, tetapi menghujam dalam.