Hulu  atau pegangan keris Madura dikenal sebagai hulu keris yang luwes. Di kalangan kolektor di Indonesia, hulu Madura tak hanya dipakaikan pada  keris-keris Madura saja, akan tetapi juga keris-keris Jawa, terutama keris dengan gaya busana Surakarta.
Hulu keris di Madura disebutnya "landiyan". Padahal, di Jawa Tengah yang disebut landeyan adalah tangkai tombak dengan berbagai ukuran. Ada landeyan tombak sodoran, blandaran, sakpengawe, sedaplang, sehasta dan sekilan sesuai ukuran dan tentu saja fungsinya dalam kehidupan keraton di masa lalu.
Hulu keris Madura yang terpopuler di luar Madura, adalah model Donoriko. Bentuknya pun khas, kepala Donoriko bulat mengembang seperti kol dan membungkuk ke depan, dengan tonjolan kecil di kedua sisi samping kepala Donorikonya.
Salah satu yang menarik perhatian dari hulu keris Madura, adalah motifnya. Bentuk boleh abstrak (pengaruh Islam), akan tetapi motif di dalamnya kongkret berbentuk. Ada yang motifnya mahkota (Belanda), Singa Eropa dan yang khas lokal, adalah motif kuda bersayap yang memiliki sebutan lokal kuda "Megaremeng".
Ada dua cerita tentang kuda bagi Madura. Cerita pertama, berkaitan dengan tokoh legendaris mereka, Jokotole yang menurut Babad Songenep nantinya menjadi Raja Sumenep. Nama Jokotole menjadi masyhur di era kerajaan Majapahit, ketika suatu ketika di alun-alun kerajaan Madura kuda milik raja, lepas dari kandang dan mengamuk. Orang yang mendekat digigit, beberapa mati digigit. Tidak ada yang berani mendekat si kuda yang lagi amuk.
Raja Majapahit Brawijaya ingat pada Jokotole, anak Potre Koneng dari Madura yang diasuh oleh Empo Kelleng, yang mengabdi di kerajaan Majapahit. Raja lalu memerintahkan agar Jokotole menghadapi kuda milik raja yang menjadi binal di alun-alun. (Cf Babad Songenep, Raden Werdisasastra, 1914).
Jokotole datang bersembah, dan bersedia menghadapi kuda binal itu bahkan sampai matipun sanggup. "Untuk menangkap kuda tersebut, hamba membutuhkan kaos serta pakaian kuda selengkapnya. Dan jika hamba selamat, maka pakaian yang hamba minta tadi akan dipakai untuk menunggang kuda tersebut," ujar Jokotole pada Raja Brawijaya.
Ketika kuda itu melihat Jokotole dari jauh dan membawa pakaian untuk kuda, maka kuda itu terdiam dan bahkan membungkukkan badannya. Â Joko Tole mendekatinya, dan kuda itu dipegang, serta dihias dengan pakaian yang diberikan oleh Raja Brawijaya. Setelah itu, Jokotole menaikinya, dan memacu kuda itu ke hadapan baginda. Semua orang yang melihat Jokotole pun kagum melihat keberanian Jokotole. Termasuk pula patih Gajah Mada...
Keberhasilan itu tidak hanya membuat Jokotole dipuji raja, serta dianugerahi pakaian selengkapnya. Jokotole bahkan kemudian diangkat menjadi Patih Muda mendampingi Gajah Mada, dengan julukan "Kodapanole" (Kuda Panoleh). Jokotole juga diberi rantai gelang, payung biru yang bagian pinggirnya berwarna kuning, empat buah tombak, serta menjadi pemimpin yang membawahi enam desa!
Mencari sang ayah