Lihat ke Halaman Asli

Diky

Mahasiswa

Negara dalam Bayang-Bayang Pajak: Ketika Kesejahteraan Harus Dibayar Mahal

Diperbarui: 29 Juli 2025   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Negara Dalam Bayang-Bayang Pajak,(Sumber/AI)

Prologue: Sebuah Paradoks Modern
Pada suatu pagi yang cerah di Jakarta, Budi, seorang karyawan swasta berusia 35 tahun, membuka slip gaji dengan perasaan campur aduk. Gajinya dipotong 15% untuk pajak penghasilan, namun ketika anaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, ia tetap harus mengeluarkan jutaan rupiah karena layanan kesehatan publik yang tersedia tidak memadai. 

"Untuk apa saya bayar pajak kalau tetap harus bayar lagi?" gumamnya dengan frustasi. Cerita Budi bukanlah kasus terisolasi. Ini adalah potret nyata jutaan warga di berbagai negara yang terjebak dalam paradoks perpajakan modern: membayar untuk kesejahteraan yang tak kunjung terwujud.

Bagian I: Anatomi Beban yang Tak Tertanggungkan

Ketika Pajak Menjadi Monster
Pajak dapat mengurangi kesejahteraan konsumen baik secara langsung melalui pengalihan sumber daya dari rakyat ke negara yang mengakibatkan direct income effect maupun secara tidak langsung melalui peningkatan harga atas barang/komoditi yang dikenakan pajak. Realitas ini mencerminkan dilema fundamental dalam sistem perpajakan modern.

Bayangkan seorang pekerja dengan gaji Rp 10 juta per bulan. Setelah dipotong pajak penghasilan, BPJS, dan berbagai pungutan lainnya, take-home pay-nya tinggal Rp 7,5 juta. Namun ketika ia berbelanja, ia kembali dikenai PPN 11%. Saat membeli BBM, ada pajak BBM. Ketika membeli rokok, ada cukai. Tanpa disadari, lebih dari 30% penghasilannya sudah masuk ke kas negara.

Adam Smith dan Prinsip yang Terlupakan
Adam Smith menyatakan bahwa pembayaran pajak semestinya tidak memberatkan rakyat sebagai pembayar pajak, serta lebih memberikan manfaat pada negara. Lebih dari 250 tahun yang lalu, bapak ekonomi dunia ini sudah memperingatkan tentang bahaya sistem perpajakan yang membebani rakyat tanpa memberikan manfaat yang sepadan.

Dalam masterpiece-nya "The Wealth of Nations" (1776), Smith mengajukan empat prinsip fundamental perpajakan:

  1. Equality: Pajak harus proporsional dengan kemampuan ekonomi
  2. Certainty: Aturan pajak harus jelas dan tidak berubah-ubah
  3. Convenience: Sistem pajak harus mudah dan tidak merepotkan
  4. Economy: Biaya pemungutan tidak boleh berlebihan

Ironisnya, prinsip-prinsip ini sering dilanggar dalam praktik perpajakan modern. Sistem pajak menjadi kompleks, berubah-ubah, dan biaya pemungutannya sering kali tidak efisien.

Kisah dari Negara-Negara Lain: Pelajaran yang Berharga

Prancis: Ketika Pajak Memicu Revolusi
Sejarah mencatat bahwa sistem perpajakan yang tidak adil pernah memicu revolusi besar. Pada abad ke-18, rakyat Prancis memberontak bukan hanya karena kemiskinan, tetapi karena ketidakadilan sistem pajak dimana bangsawan dan pendeta dibebaskan dari kewajiban pajak, sementara rakyat jelata menanggung beban yang sangat berat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline