Namanya Lita. Usianya 34 tahun. Sudah delapan tahun bekerja di sebuah perusahaan konsultan logistik internasional. Dulu, dia bangga menyebut pekerjaannya. Pekerjaannya penting. Tanggung jawabnya besar. Gajinya cukup untuk mencicil rumah kecil di pinggiran Jakarta dan membiayai kuliah adik semata wayangnya.
Dulu.
Sekarang, Lita bangun pagi bukan karena semangat, tapi karena alarm berbunyi dan kewajiban memanggil. Dia mandi, berangkat, duduk di depan laptop, ikut rapat, mengangguk, mencatat, mengetik, membalas email, lalu mengulang semua itu besoknya.
Setiap hari, seperti mesin yang mulai aus, tapi terus dipaksa menyala.
Hari itu, jam tiga sore, Lita duduk sendirian di pantry kantor. Cangkir kopinya masih hangat. Pahit, tanpa gula. Sama seperti pikirannya hari-hari ini. Di hadapannya, tumpukan dokumen belum disentuh, chat dari tim yang belum dibalas, dan satu notifikasi penting dari HR: "Reminder: Deadline pengisian form penilaian diri - hari ini."
Ia menatap layar kosong cukup lama. Sebuah pertanyaan kembali muncul, seperti hantu yang tidak pernah benar-benar pergi: "Apa aku menyerah kalau aku berhenti?"
Dia teringat beberapa bulan lalu saat mencoba curhat ke rekan kerja. "Capek ya?" katanya lirih waktu itu.
Tapi yang ia terima hanya jawaban standar, "Namanya juga kerja. Siapa sih yang enggak capek?" Sejak itu, Lita berhenti bercerita.
Tapi yang orang lain tidak tahu, ini bukan capek biasa. Ini kelelahan yang datang dari dalam. Seperti sedang berjalan jauh sambil terus tersenyum, padahal telapak kaki sudah berdarah dan punggung terasa remuk.
Tapi siapa yang peduli? Dia masih datang ke kantor. Masih ikut meeting. Masih membalas email tepat waktu. Dari luar, semuanya tampak baik-baik saja.
Lita menarik napas panjang. Tangannya membuka laptop, bukan untuk mengisi form penilaian diri. Tapi membuka tab baru dan mulai menulis sesuatu yang sudah lama ia pikirkan, surat pengunduran diri. Ia berhenti sejenak, jemarinya menggantung di atas keyboard.