Lihat ke Halaman Asli

Dilema Bali Hijau: Antara Investasi Infrastruktur dan Kesucian Alam Pulau Dewata

Diperbarui: 13 Oktober 2025   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Ketika pesawat mendarat di Bandara Ngurah Rai para wisatawan disambut dengan pemandangan indah sawah hijau, pura megah, dan laut biru yang menenangkan. Namun di balik pesona Pulau Dewata itu tersimpan kegelisahan yang kian nyata. Bali kini berada di persimpangan jalan antara mengejar kemajuan ekonomi lewat investasi infrastruktur besar-besaran atau menjaga kesucian alam dan budaya yang menjadi napas kehidupan masyarakatnya.

Pembangunan jalan tol laut, bandara baru, dan kawasan pariwisata memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Namun, di sisi lain pembangunan masif ini sering kali menimbulkan paradoks. Hutan adat terancam tergusur, lahan subak semakin menyempit, dan sumber air suci (tukad serta pancoran) mulai tercemar. Pertanyaannya sampai di mana pembangunan bisa dilakukan tanpa mengorbankan nilai-nilai suci yang telah diwariskan leluhur?

Di tengah dilema itu ajaran Tri Hita Karana kembali menggema sebagai filosofi penting untuk menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian. Bali yang hijau dan suci bukan hanya impian tetapi tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa pembangunan tidak menghapus jati diri Pulau Dewata.

Latar Belakang Masalah

Bali menjadi salah satu ikon pariwisata dunia, tetapi keberhasilannya menyimpan sisi gelap, ketimpangan sosial, krisis air, dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan tak terkendali. Data dari Badan Lingkungan Hidup Bali mencatat bahwa volume sampah di wilayah Denpasar dan Badung mencapai lebih dari 1.500 ton per hari.

Pemerintah pusat dan daerah berupaya menyeimbangkan pembangunan melalui berbagai kebijakan, seperti RPJMN 2025--2029 dan Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2023 tentang Haluan Pembangunan Bali Masa Depan. Kedua dokumen ini menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan berbasis budaya lokal dan prinsip Tri Hita Karana (THK)

Namun di lapangan sering muncul konflik kepentingan antara ekonomi dan spiritualitas. Misalnya proyek infrastruktur strategis seperti jalan tol laut, pengembangan kawasan wisata di daerah suci, atau perluasan kawasan industri sering memicu penolakan masyarakat adat. Di sinilah dilema Bali hijau muncul. Bagaimana menyeimbangkan kemajuan ekonomi tanpa mengkhianati kesucian alam dan nilai budaya?

Pembahasan

1. Pembangunan Bali Era Baru: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Sejalan dengan RPJMN 2025--2029 arah pembangunan nasional berfokus pada transformasi ekonomi hijau, ketahanan ekologi, dan pemerataan wilayah. Bali, melalui visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, dengan misi "menjaga kesucian dan keharmonisan alam, manusia, dan budaya." Kebijakan daerah menargetkan Bali menjadi provinsi dengan 30% kawasan lindung, transportasi hijau, dan energi bersih pada 2045. Namun, di sisi lain, realitas menunjukkan tekanan besar akibat pembangunan pariwisata dan infrastruktur. Proyek bandara baru di Buleleng, perluasan jalan tol Gilimanuk-Mengwi, serta pembangunan hotel di kawasan suci menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya ruang ekologis dan spiritual.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline