Terlepas apapun keyakinannya, momen hari raya selalu membawa suasana yang berbeda. Terlebih bagi pemeluknya. Tidak dapat dipungkiri, fenomena keagamaan kerap membuat kalap dan berdalih, "Namanya juga sedang menyambut/ merayakan hari raya. Tidak sekali-kali, hanya sekali dalam setahun." Luarbiasanya juga, fenomena ini "menular" kepada pemeluk agama lainnya yang terbawa suasana.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, tidak dipungkiri aura Ramadhan sangat terasa. Bahkan, sekalipun Ramadhan belum tiba, dan masih cukup lama. Aura terasa dari bermunculannya berbagai sale dan ramainya penjualan di mall, grosir, bahkan e-comerce. Perubahan prilaku konsumtif khususnya berlahan terasa nyata pada konsumen Muslim. Sedangkan yang non, ibaratnya suporter yang terikut sentimentil suasana. Sehingga tidak mengherankan jika juga berujung kepada prilaku konsumtif yang lepas kontrol.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai impulse buying. Di mana seseorang melakukan pembelian secara impulsif tanpa perencanaan sebelumnya. Sering kali ini terjadi karena adanya dorongan yang mendadak atau perasaan yang kuat terhadap suatu produk. Bisa disimpulkan juga, impulse buying artinya ketika seseorang/ konsumen tergoda untuk membeli sesuatu hanya karena adanya stimulus tertentu, seperti penawaran diskon atau promosi yang menarik perhatian mereka.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Tidaklah lain disebabkan karena adanya sensasi kesenangan atau kepuasan segera yang dijanjikan oleh pembelian produk tersebut. Katakanlah bagi penduduk Muslim, mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan membeli sarung ataupun mukena dan terlebih dengan dalih diskon rasanya cukup menggoda. Tetapi, apakah itu menjadi kebutuhan adalah hal yang berbeda. Sebab disini euforia atau kesenangan sesaat "terbungkus" ibadah sudah terpenuhi.
Mungkin serupa tapi tak sama juga dengan mereka yang non-Muslim. Mereka pun ikutan berlomba belanja, dengan embel-embel, "Mumpung lagi diskon Ramadhan." Sekali lagi, apakah itu kebutuhan atau tidaknya menjadi urusan ke sekian.
Uniknya di Indonesia yang majemuk ini, prilaku konsumtif juga dipengaruhi oleh budaya. Seperti ada aturan tidak tertulis. Tetapi seperti kewajiban di setiap menjelang Ramadhan, ramai masyarakat mempersiapkan takjil atau makanan pembuka puasa. Tidak hanya untuk di rumah. Melainkan juga sebagai peluang yang menguntungkan karena masyarakat Indonesia biasanya ramai-ramai membeli takjil saat bulan puasa.
Terlepas apapun keyakinan yang dianutnya. Kaum non-Muslim bahkan menantikan suasana ini. Inilah yang juga bisa dikatakan sebagai impulse buying. Artinya, tidaklah salah jika menyimpulkan bahwa menjelang Ramadhan sekalipun tidak menutup kemungkinan terjadinya prilaku konsumtif secara masif.
Namun, impulse buying tidak sepenuhnya harus dihindari. Sebab ini bagian dari dinamika dan roda ekonomi. Tetapi, tetap harus diwaspadai/ perlu pengendalian diri agar tidak terjebak pemborosan atau terburuknya hutang.
Sekilas, berikut penyebab impulse buying:
- Rentan tergoda diskon
- Kebiasaan berbelanja atau addicted shopping
- Fear of Missing Out (FOMO) atau prilaku takut ketinggalan tren
- Keinginan memuaskan rasa bahagia
- Mudah terpancing/ tergiur iklan
Lalu, bagaimana cara mencegah impulse buying adalah sbb:
- Membuat perencanaan keuangan
- Membuat daftar belanja
- Menunda belanja dengan mempertimbangkan antara kebutuhan ataukah keinginan
- Hindari lingkungan yang menggoda keinginan belanja
- Membatasi kartu kredit/ pengeluaran
- Mencari alternatif pengendalian diri ketika terpicu keinginan belanja