Pernyataan tim kuasa hukum Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang menegaskan bahwa keabsahan pendidikan tidak semata-mata ditentukan oleh keberadaan fisik ijazah, memantik kembali perdebatan publik soal pentingnya bukti formal dalam menilai legitimasi akademik seorang pejabat negara. Dalam keterangan resminya, tim hukum mantan Presiden menyatakan bahwa pernyataan dari Universitas Gadjah Mada (UGM)-sebagai institusi tempat Jokowi menempuh pendidikan tinggi merupakan bukti sah yang tak bisa dibantah.
Pernyataan itu memang dimaksudkan untuk mengakhiri polemik yang telah berkembang sejak masa kampanye pemilihan umum lalu. Namun, justru memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apakah sebuah pernyataan institusi pendidikan, tanpa ditopang bukti primer berupa dokumen ijazah, cukup untuk membungkam keraguan publik yang berlandaskan hak untuk tahu (right to know)?
Pernyataan UGM: Bukti Sah atau Klaim Sepihak?
Dalam sistem hukum kita, terutama dalam hukum administrasi dan hukum pendidikan, ijazah merupakan dokumen resmi negara yang memuat pengakuan atas kelulusan seseorang dari satuan pendidikan. Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa ijazah adalah pengakuan resmi terhadap prestasi belajar setelah menempuh pendidikan formal. Ijazah juga berfungsi sebagai alat bukti administratif yang diperlukan untuk berbagai urusan, mulai dari pendaftaran pekerjaan, pencalonan jabatan publik, hingga pengakuan gelar akademik.
Dengan demikian, dari sudut pandang legal-formal, keberadaan fisik ijazah tetaplah vital. Ketika ijazah hilang atau rusak, hukum memberi ruang untuk menerbitkan duplikat, namun tetap harus dibuktikan dengan arsip dan verifikasi dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Artinya, ketiadaan atau ketidakmauan memperlihatkan ijazah bukan perkara remeh, terlebih jika yang bersangkutan adalah pejabat publik setingkat Presiden Republik Indonesia.
Pernyataan UGM yang menyebut Jokowi adalah lulusan resmi Fakultas Kehutanan tahun 1985, secara institusional memang penting dan memiliki bobot legal. Namun, apakah pernyataan ini "tidak bisa dibantah"?
Hukum pembuktian mengenal asas contradictio in terminis-tidak ada bukti yang absolut. Semua bukti, termasuk dokumen resmi dari institusi pendidikan, dapat diuji dan bahkan digugat keabsahannya apabila terdapat keraguan rasional yang disertai bukti tandingan. Dalam sistem peradilan kita, tidak dikenal adanya bukti yang ipso facto tidak bisa dibantah. Semua bukti tunduk pada prinsip audi et alteram partem-dengarkan pula pihak lain.
Maka, pernyataan kuasa hukum Jokowi yang menyebut bukti dari kampus sebagai sesuatu yang tidak bisa dibantah, sesungguhnya bertabrakan dengan prinsip dasar pembuktian dalam hukum. Alih-alih memperkuat legitimasi, klaim absolut semacam itu justru bisa menimbulkan kesan bahwa ada yang perlu disembunyikan atau dilindungi dari uji publik.
Polemik mengenai ijazah Jokowi bukan semata soal pribadi, tetapi menyentuh ranah yang lebih luas: hak publik untuk mengetahui rekam jejak pejabat tinggi negara. Dalam demokrasi, setiap warga negara berhak mengakses informasi mengenai calon atau pejabat publik, termasuk latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan catatan integritasnya.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 3/PUU-VII/2010 telah menegaskan pentingnya keterbukaan informasi publik yang menyangkut calon pejabat, termasuk kepala daerah dan presiden. Keterbukaan ini dianggap sebagai salah satu wujud partisipasi publik dalam menjaga kualitas demokrasi. Maka, pertanyaan publik tentang keaslian atau keabsahan ijazah Jokowi meskipun kerap dianggap sebagai serangan politik-tidak bisa begitu saja dianggap sebagai fitnah atau hoaks, terlebih jika belum dijawab dengan transparan.