Perkembangan ekonomi islam di dunia sudah semakin pesat ditandai dengan semakin bermunculannya instansi perbankan dan keuangan non perbankan Syariah lainnya. Perkembangan ekonomi islam di Indonesia telah mulai mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Berbagai Undang-Undangnya yang mendukung tentang sistem ekonomi tersebut mulai dibuat, seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Setelah hampir 30 tahun Undang-Undang Perbankan Syariah lahir yaitu UU No 7 tahun 1992, perkembangan Bank Syariah di Indonesia cukup menggembirakan. Sampai saat ini menurut data dari Bank Indonesia (BI), paling tidak ada beberapa pemain di bisnis perbankan Syariah di Indonesia, Jika ditotal, jaringan perbankan Syariah di seluruh Indonesia mencapai hampir 3000 kantor. Pada 2018, aset bank syariah tumbuh 12,5% menjadi Rp 477 triliun dibandingkan 2017 sebesar Rp 424 triliun. Hal tersebut masih terhitung kecil dibandingkan dengan total asset bank konvensional yang mencapai Rp 8,1 kuadriliun.
Dari data dan keterangan tersebut diatas, nampak bahwa selama hampir 30 tahun, yaitu sejak kran perbankan Syariah dibuka tahun 1992, jumlah lembaga Syariah telah cukup berkembang. Jika kita bandingkan perbankan Syariah dengan perbankan konvensional secara nasional, maka pangsa pasar Bank Syariah belum mampu menembus angka 5,7%. Belum lagi jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang 220 juta jiwa dengan 87% beragama Islam seharusnya Indonesia bisa menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia.
Namun kenyataanya pangsa pasar (market share) perbankan syariah di Indonesia dinilai masih kecil bila dibandingkan dengan negara mayoritas Muslim lainnya. Saat ini pangsa pasar perbankan syariah Indonesia baru sekitar 5,7 persen. Sementara pangsa pasar perbankan syariah Malaysia sudah sebesar 23,8 persen. Bahkan Arab Saudi mencapai 51,1 persen. Pertanyaan yang ada dibenak kita sebagai orang Islam adalah: apakah perkembangan dari sudut pandang jumlah pemain di bisnis perbankan Syariah telah memenuhi harapan umat Islam khususnya dan paradigma bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin, yang pada gilirannya membawa rahmat untuk kaum non Muslim juga.?
Padahal selaku regulator, Bank Indonesia memberikan perhatian yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa 'maslahat' bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan underlying transaksi di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun pihak bank selaku pengelola dana.
Tentu ironis apabila melihat Bank Syariah yang baru menembus angka 5.7%. Bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa dengan 87% lebih beragama Islam, tapi masyarakat yang beragama Islam belum banyak tersentuh untuk memanfaatkan perbankan Syariah yang sesuai dengan ajaran Islam. Apa sesungguhnya yang menyebabkan lambatnya perkembangan perbankan Syariah?
Pertama, nasabah masih dianggap sebagai orang yang perlu didorong semangat spiritualnya dengan mengedepankan aspek halal-haram dan mengabaikan aspek competitiveness bank Syariah. Terkadang nasabah sangat sensitif dalam hal return ataupun pricing. Terutama nasabah besar, kendati hanya berbeda 1% - 2% (lebih rendah dari deposito bank konvensional). Mereka mudah pindah kembali ke bank konvensional. Nasabah masih bersikap ambigu (mendua). Hasil survei perbankan Syariah yang dilakukan oleh Karim Business Consulting (KBC) -- perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi Syariah terhadap 1000 (seribu) orang pemilik dana, ternyata hasilnya cukup menggembirakan. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah :"Apakah anda mau membuka rekening di bank Syariah?". Ternyata hasilnya adalah 65% responden menyatakan bersedia membuka rekening di bank Syariah. Namun disisi lain, sejumlah responden dengan persentase yang sama menegaskan, akan tetap mempertahankan rekening mereka di bank konvensional. Survei ini memberi gambaran bahwa nasabah belum bisa melepaskan bank konvensional dari kehidupan pribadi mereka. Ini mengindikasikan bahwa nasabah belum terlalu yakin bank Syariah bisa mengakomodasi semua kebutuhan mereka. Besar kemungkinan bahwa bank Syariah masih dilihat sebagai barang baru, jadi masih dalam tahapan coba-coba.
Kedua, SDM bank Syariah masih rendah dalam tingkat pemahaman fiqh muamalah (Syariah). Bank Syariah membutuhkan personil yang memiliki kompetensi bankir andal dan ditambah pengetahuan fiqh muamalah yang memadai.
Ketiga, Produk perbankan Syariah masih memiliki sejumlah kelemahan dan keterbatasan. Misalnya,di bidang International Banking. Hal lain seperti remittance, misalnya mengirim atau menerima uang dari luar negeri. Dalam hal transaksi, Bank konvensional mempunyai kredit rekening koran. Di Bank Syariah sulit mempunyai produk seperti ini, sebab banknya sendiri tidak bisa meminjamkan uang.
Keempat, lahirnya Bank Syariah pastilah dilandasi dari paradigma Rahmatan Lil Alamin. Itu maknanya Bank Syariah dibangun sebagai sarana mediasi antara masyarakat pemilik dana dan penggunanya. Tentunya nasabah Bank Syariah bukan hanya kaum Muslim saja, melainkan seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Namun, pandangan dari kalangan non Muslim tidaklah demikian. Bank Syariah seolah-olah hanya diperuntukkan bagi kalangan Muslim saja. Lihat saja misalnya iklan atau promosi Bank Syariah selalu dikaitkan dengan hal-hal yang bernuansa keIslaman. Itu tidaklah salah, namun efek yang muncul adalah adanya kesan "eksklusif" hanya untuk Muslim. Mungkin faktor ini yang menyebabkan nasabah nonMuslim belum begitu banyak. Untuk dapat meningkatkan jumlah nasabah non-Muslim perlu dihilangkan kesan eksklusifitas tadi.
Sementara tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang antara lain:
- Perlunya kerangka hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah secara komprehensif. Sistem keuangan syariah secara karakteristik berbeda dengan sistem keuangan konvensional, terdapat beberapa kekhususan yang tidak dapat dipersamakan sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur pengadilan agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan transaksi keuangan juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi keuangan syariah dengan menggunakan 'hukum fiqh' masih dapat menimbulkan perbedaan interpretasi karena perbedaan mazhab (lack of convergence of sharia interpretation). Untuk itu, perlu semacam kompilasi hukum ekonomi/keuangan islam yang disepakati bersama untuk dijadikan rujukan dan disahkan oleh negara. Upaya penyempurnaan kerangka hukum ini juga perlu dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara. Penyempurnaan kerangka hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi pengembangan keuangan syariah, baik secara nasional maupun global.
- Perlunya kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat nasional dan global untuk menjembatani perbedaan dalam 'fiqh muammalah'. Jika kita perhatikan secara jeli dalam pengembangan keuangan syariah di beberapa negara, kita dapat melihat adanya perbedaan yang nyata dalam pemahaman 'fiqh muammalah'. Di satu sisi terdapat negara yang terlalu berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang terlalu longgar (liberal) dalam aplikasi 'fiqh muammalah' tersebut sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan perselisihan sangat terbuka. Walaupun perbedaan pendapat diperbolehkan dan dianggap sebagai rahmat dalam pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan transaksi keuangan akan menimbulkan risiko. Untuk itu, perlu penyelarasan produk secara nasional maupun global sangat diperlukan agar keuangan islam dapat tumbuh bersama di berbagai negara, tidak saling memproteksi karena perbedaan mazhab. Hadirnya lembaga internasional seperti, International Financial Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM), dan Accounting and Milad ke-8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Hal | 6 Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi yang dapat diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta 'global regulation convergency'.
- Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil yang dibagikan (sharing) dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, hendaknya merupakan hasil yang nyata dari aktivitas bisnis. Sayangnya, referensi nilai imbal hasil tersebut belum tersedia sehingga institusi keuangan syariah seringkali melakukan penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain bersifat kurang adil, perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi sistem keuangan syariah karena tidak ada perbedaan yang hakiki dengan sistem konvensional. Bank Indonesia telah mulai melakukan kajian mengenai referensi nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan pertambangan, dan masih terus disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan peran serta dari kalangan akademisi dan asosiasi para pakar seperti IAEI untuk melakukan kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai hal ini.