Mohon tunggu...
Jauhar Nehru
Jauhar Nehru Mohon Tunggu... MAHASISWA UNAIR

HOBI : MENOLONG

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Sejarah di Dunia Daring: Antara Tantangan dan Peluang

8 Oktober 2025   02:08 Diperbarui: 8 Oktober 2025   02:08 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pandemi beberapa tahun lalu membuat hampir seluruh aktivitas pendidikan berpindah ke ruang virtual. Dari situ, lahirlah fenomena baru dalam dunia pendidikan, termasuk dalam bidang yang selama ini dianggap sangat “klasik” yaitu sejarah. Kini, pembelajaran sejarah tidak lagi terbatas pada buku tebal, papan tulis, dan ceramah dosen di kelas. Kita, para mahasiswa sejarah, berhadapan dengan cara belajar baru: pembelajaran sejarah secara online. 

Awalnya, sistem daring terasa asing. Bagaimana mungkin sejarah yang kaya akan interpretasi, diskusi, dan penelusuran sumber bisa disampaikan hanya lewat layar? Namun, seiring waktu, saya mulai memahami bahwa dunia digital bukan musuh sejarah. Justru, teknologi membuka cara baru untuk melihat masa lalu.

Saya masih ingat ketika pertama kali mengikuti kuliah sejarah secara daring. Rasanya campur aduk: senang karena bisa belajar dari rumah, tapi juga bingung karena interaksi terasa dingin. Tidak ada tatapan dosen, tidak ada tawa teman sekelas ketika membahas peristiwa lucu dalam sejarah. Di awal-awal perkuliahan daring, saya sering merasa kehilangan arah. Materi sejarah yang biasanya menarik jadi terasa datar tanpa tatapan dosen dan teman diskusi. Kadang saya baru sadar setelah beberapa menit dosen bicara, pikiran saya malah melayang ke notifikasi lain di layar. Itu momen yang membuat saya sadar: belajar daring butuh kesadaran diri lebih tinggi daripada sekadar hadir. Namun di sisi lain, saya menemukan bahwa pembelajaran online memberi kesempatan untuk mengakses sumber-sumber sejarah yang jauh lebih luas.

Lewat internet, saya bisa menonton dokumenter dari berbagai negara, membaca arsip digital dari museum luar negeri, hingga melihat peta interaktif tentang penyebaran kerajaan-kerajaan Nusantara. Hal-hal seperti itu sulit didapat ketika belajar secara konvensional. Dengan kata lain, pembelajaran daring membuka ruang bagi mahasiswa sejarah untuk menjadi lebih mandiri dan eksploratif.

Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa pembelajaran sejarah online punya banyak tantangan. Salah satunya adalah minimnya interaksi langsung. Dalam studi sejarah, diskusi adalah nyawa utama. Dari diskusi lahir interpretasi baru, kritik terhadap sumber, dan pemahaman mendalam tentang konteks suatu peristiwa. Ketika diskusi berpindah ke layar Zoom, nuansanya berubah. Banyak mahasiswa yang hanya “menyala tapi tak bicara”, kamera hidup tapi pikirannya entah ke mana. Tantangan lain adalah rasa jenuh. Duduk berjam-jam di depan layar membuat konsentrasi cepat hilang. Dalam konteks sejarah, ini masalah besar, karena memahami peristiwa masa lalu butuh imajinasi dan fokus tinggi. Banyak teman saya mengaku sulit membayangkan kronologi sejarah hanya dari slide PowerPoint yang kaku.

Selain itu, keterbatasan akses teknologi juga jadi masalah nyata. Tidak semua mahasiswa punya jaringan stabil atau perangkat yang mendukung. Padahal, sejarah seringkali butuh tampilan visual seperti peta, foto, atau dokumen digital yang berat di data. Ketika koneksi putus di tengah penjelasan dosen, pemahaman juga ikut terputus.

Namun, saya percaya, semua tantangan itu bisa diubah menjadi peluang asalkan ada kemauan untuk beradaptasi. Pembelajaran daring mendorong mahasiswa untuk tidak lagi pasif menunggu informasi, tapi aktif mencari dan mengkritisi sumber secara mandiri. Di sinilah keterampilan abad ke-21 diuji: berpikir kritis, literasi digital, dan kemampuan komunikasi lintas platform.

Lebih jauh, pembelajaran sejarah online juga menuntut dosen untuk berinovasi. Tidak cukup hanya memindahkan PowerPoint ke ruang virtual; mereka harus membuat materi lebih interaktif dan relevan. Beberapa dosen mulai menggunakan media seperti Padlet, Kahoot, atau Google Earth untuk menjelajah situs bersejarah secara virtual. Langkah-langkah kecil semacam ini menunjukkan bahwa sejarah tetap bisa hidup, bahkan di dunia digital.

Di sisi mahasiswa, perubahan ini menuntut tanggung jawab baru. Tidak ada lagi alasan terlambat datang ke kelas, karena ruang belajar kini ada di genggaman tangan. Justru tantangan terbesar bukan pada teknologinya, tetapi pada disiplin diri dan motivasi belajar. Belajar sejarah online mengajarkan kita pentingnya manajemen waktu dan kemampuan menjaga fokus di tengah distraksi notifikasi dan media sosial.

Bagi saya pribadi, belajar sejarah secara daring adalah pengalaman yang mengubah cara pandang. Dulu saya menganggap sejarah hanya tentang masa lalu. Tapi setelah mengalami perkuliahan online, saya menyadari bahwa sejarah juga tentang cara manusia beradaptasi terhadap perubahan. Ketika dunia berubah karena teknologi, cara kita memahami sejarah pun ikut berevolusi.

Maka, alih-alih menolak atau mengeluh, mungkin sudah saatnya kita menganggap pembelajaran sejarah daring sebagai jembatan bukan penghalang. Dunia digital memang berbeda, tapi bukan berarti kehilangan makna. Sejarah tetap hidup, asalkan kita mau mencari maknanya, di mana pun dan dengan cara apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun