Hening.
Kemudian, tawa mereka meledak, bergema menggetarkan bhuwana.
"Nah, itu sudah cukup untuk melemparmu ke penjara," suara si brewok terdengar seperti vonis yang tak bisa diganggu gugat.
Sebelum aku sempat bicara, dua pasang tangan kembali mencengkeram lenganku. Lebih keras, lebih kasar.
Aku diseret lagi, tubuhku bergesekan dengan tanah yang dingin dan kasar. Debu beterbangan, menyumbat napasku. Rasa perih menjalar di kulitku yang tergores bebatuan tajam, tapi lebih dari itu, ada kemarahan yang mulai meletup dalam dadaku.
Aku mencoba meronta, tapi genggaman mereka tak tergoyahkan. Tenagaku terkuras, sementara mereka masih menertawakanku, seakan aku ini seonggok daging tak berharga.
"Kalian merampas kebebasanku, ini pelanggaran HAM berat," suaraku serak, penuh keputusasaan yang kupaksa untuk tetap terdengar garang, "Aku akan menuntut kalian! Dengar itu? Aku akan menuntut kalian!"
Gelak tawa mereka pecah, kasar dan penuh penghinaan. Tawa yang menegaskan bahwa tak ada satu pun kata-kataku yang berarti bagi mereka.
Dan aku, mulai meragukan apakah ada yang akan mendengar teriakanku.
Mereka terus menyeretku tanpa peduli. Tanah kering yang berbatu mencabik kulitku, meninggalkan garis-garis perih yang pedih.
Aku menggeliat, mencoba mencari celah untuk melawan, tapi sia-sia. Kekuatan mereka seperti baja, sedangkan aku hanya tubuh ringkih yang sudah kehabisan daya.