No Other Choice merupakan film terbaru dari Park Chan Wook. Karya lain yang sebelumnya pernah saya tonton adalah Decision to Leave. Berangkat dari rasa suka pada film sebelumnya, saya memutuskan untuk menonton karya terbaru dari beliau.
No Other Choice menceritakan tentang sebuah keluarga yang terdiri dari: ayah(Mansoo), ibu(Miri), serta kedua anaknya(Siwon dan Riwon). Cerita diawali dengan makan bersama dalam keluarga, dimana terlihat bahwa hidup yang mereka miliki sangatlah sempurna. Penuh dengan kehangatan serta kasih sayang, ekonomi yang baik, rumah yang terisi dengan berbagai memori. Namun, Mansoo tiba-tiba dipecat setelah 25 tahun bekerja di pabrik kertas. Hal ini tentu saja menjadi pukulan bagi Mansoo yang telah mengabdikan hidupnya pada pekerjaan yang diandalkan untuk menafkahi keluarganya. Satu persatu wawancara untuk mendapat pekerjaan baru dilalui, namun tidak ada kabar baik yang menunggu.
Premis tersebut sangat relevan dengan kehidupan kita saat ini, dimana banyak PHK terjadi dan lapangan kerja yang tersedia tidak berbanding lurus dengan jumlah pelamar yang membutuhkan pekerjaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa menjadi seorang job seeker bukanlah sebuah fase yang mudah untuk dilalui. Dibutuhkan kegigihan serta ketabahan untuk dapat bangkit dan mengulang proses mulai dari seleksi berkas, pembaruan data diri, hingga tahap wawancara yang hasilnya belum tentu sesuai dengan yang kita inginkan. Lantas, apakah menjadi seorang pengangguran merupakan sebuah kondisi dimana kita diperhadapkan dengan “tidak adanya pilihan lain?”
Ulasan pada kalimat serta paragraf berikutnya akan mengandung spoiler, silakan berhenti membaca bila tidak ingin mengetahui lebih lanjut.
Setelah terkena PHK dan tidak kunjung mendapatkan pekerjaan baru, Mansoo serta keluarganya mulai mengubah gaya hidup mereka. Mulai dari kelas dansa rutin yang mereka ikuti, biaya layanan streaming, langganan majalah, hingga mengiklankan rumah mereka pada agen properti untuk dijual dan menutupi hutang. Maka muncullah ide, bila tidak bisa masuk ke dalam eliminasi kandidat, maka Mansoo lah yang akan mengeliminasi kandidat kuat yang ada pada industri tersebut dengan membunuh mereka satu persatu. Hal ini dilakukan karena “tidak ada pilihan lain”. Kalimat ini diutarakan berkali-kali oleh Mansoo sebagai kata-kata afirmasi untuk dirinya sendiri.
Terdapat seorang kandidat kuat bernama Beommo, yang memiliki seorang istri yang merupakan pemain teater. Beommo menjadi target pertama dari Mansoo. Sama seperti Mansoo, Beommo juga dipecat dari pabrik kertas setelah 25 tahun bekerja (hal ini dikarenakan perusahaan dan pabrik kertas diakuisisi oleh Amerika). Setelah dipecat, hal yang dilakukan Beommo adalah mabuk-mabukkan. Beommo hanya ingin bekerja pada industri yang sama, yakni industri kertas. Mertua Beommo (ayah sang istri) telah menawarkan Beommo untuk membuka kafe, dan mengisinya dengan musik-musik rekaman koleksi Beommo untuk menarik pengunjung. Namun, karena Beommo merasa bahwa hal yang dapat ia lakukan dan passion yang ia miliki adalah pada pembuatan kertas, maka ia menolak usulan tersebut. Pada akhirnya Beommo tertembak, istrinya pun mengatakan “yang menjadi masalah bukanlah kehilangan pekerjaan, tetapi ketidakinginan untuk mencoba hal lain selain bekerja dalam industri kertas”. Dalam bagian ini, dapat kita lihat bahwa sesungguhnya Beommo tidak diperhadapkan dalam kondisi “tidak ada pilihan lain” seperti yang ia kira.
Melihat pada kehidupan nyata, banyak dari senior serta orangtua kita yang menjadikan sebuah pekerjaan sebagai “identitas” diri mereka. Lalu, setelah tidak lagi bekerja maka mereka tidak tahu harus melakukan apa selain bidang yang selama ini mereka lakukan seperti halnya Beommo. Sebagai sebuah perenungan, ”apakah kita hanya bernilai karena pekerjaan yang kita lakukan?”Apabila pekerjaan tersebut diambil, tidak adakah kualitas lain dari diri kita yang dapat dibanggakan?
Hal lain yang saya sukai dari film ini adalah dipilihnya kertas-sebagai industri yang diakuisisi. Kertas merupakan salah satu bentuk media fisik yang dapat kita sentuh secara langsung. Pada era digitalisasi, penggunaan kertas banyak tergantikan oleh teknologi. Pencatatan, penggambaran sebuah objek yang sebelumnya banyak mengandalkan kertas, telah tergantikan oleh pencatatan sistematis oleh komputer/gadget lainnya. Para pekerja yang terkena PHK disebabkan oleh hal tersebut. Tenaga manusia, digantikan oleh mesin. Dengan kata lain, untuk mengisi sebuah lowongan yang hanya tersedia untuk 1 orang (dimana posisi ini merupakan posisi untuk mengawasi mesin AI) tokoh utama kita Mansoo, rela untuk membunuh rekan senasibnya yang juga sedang berputus asa untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Pada akhirnya, Mansoo mendapatkan pekerjaan tersebut setelah membunuh semua pesaingnya. Namun, apakah yang sesungguhnya ia korbankan? No Other Choice, merupakan sebuah gambaran tentang apa yang akan terjadi bila kapitalisme dan materialisme memaksa kita untuk menjadikan pekerjaan, uang, keuntungan pribadi sebagai hal utama yang harus dikejar serta dimiliki. Yang hilang dari hal tersebut adalah rasa kemanusiaan serta empati terhadap sesama kita yang juga berjuang untuk menghidupi keluarganya.
Banyak hal kompleks yang dapat dibahas pada film ini. Dalam “tidak adanya pilihan lain”, sesungguhnya kita bisa memilih untuk tetap menjadi manusia.
Secara keseluruhan, saya merekomendasikan film ini untuk ditonton sebagai pengingat dan perenungan kita dalam menjalani hidup.