Senin, 22 September lalu menjadi hari yang begitu spesial bagi saya. Di tengah rutinitas yang padat, hadir sebuah kejutan manis: Piagam Penghargaan dari Palang Merah Indonesia (PMI). Penghargaan itu merupakan bentuk ucapan terima kasih atas konsistensi saya sebagai donor darah sukarela.
Piagam itu kini ada di hadapan saya. Tertulis jelas nama saya, Disisi Saidi Fatah, dengan catatan “10 (Sepuluh) Kali” menyumbangkan darah untuk kemanusiaan.
Selain itu, ada goodie bag putih dari PMI dan sebuah tumbler merah dengan desain keren, serta sebuah pin. Semua ini menjadi cinderamata, pengingat fisik atas perjalanan yang sudah saya tempuh.
Lucunya, penghargaan itu datang agak “telat”. Donor terakhir yang saya lakukan - sekitar sebulan sebelum menerima piagam - sudah yang ke-19 kalinya! Namun rasa bangga dan syukur tetap saja membuncah. Lebih istimewa lagi karena momen ini hadir pada bulan September, bulan kelahiran saya (27 September).
Rasanya seperti hadiah ulang tahun yang hangat, sekaligus pengingat bahwa waktu hidup terus berkurang, sehingga setiap detik harus digunakan untuk hal yang bermanfaat.
Perkenalan dengan Jarum Gede dan Ketakutan yang Terkalahkan
Saya mengenal kegiatan donor darah bukan dari sekolah atau ajakan iseng, melainkan dari kawan-kawan Komunitas Peduli Kemanusiaan. Tepatnya, para sahabat aktivis di bawah naungan Nahdlatul Ulama, terutama gerakan Pemuda Ansor. Sekitar tahun 2015, saya pertama kali diajak ikut serta oleh sahabat sekaligus Papa, Almarhum Gatot Arifianto.
Saat itu, jujur, ada dua rasa yang saling bertarung: penasaran dan takut. Penasaran karena banyak yang bilang setelah donor tubuh terasa segar, hati pun lebih bahagia karena bisa membantu orang lain. Namun ketakutan juga bukan main. Siapa yang tidak gentar melihat jarum besar untuk mengambil darah? Rasanya seperti ditusuk jarum raksasa.
Kekhawatiran lain muncul dari kondisi fisik saya. Badan kurus dengan berat badan yang tidak stabil (48–50 kg) sering membuat saya bertanya-tanya: Kalau nanti darahnya kurang bagaimana? Kalau nanti saya pingsan bagaimana? Badan saya kan kurus!
Namun rasa ingin tahu akhirnya lebih kuat dari rasa takut. Saya ingin membuktikan sendiri bagaimana rasanya usai donor, sekaligus merasakan manfaat nyata bisa menolong orang lain.