Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah sejatinya lahir dari semangat mulia: menghadirkan keadilan gizi bagi seluruh anak bangsa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sejak digulirkan pada Januari 2025, MBG diharapkan mampu menjadi solusi jangka panjang mengatasi stunting, memperbaiki kualitas SDM, dan menutup kesenjangan akses pangan di sekolah-sekolah.
Namun, di balik niat luhur itu, belakangan publik dikejutkan oleh merebaknya kasus keracunan massal yang diduga bersumber dari makanan MBG. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, menyebutkan data yang mengkhawatirkan: tercatat 24 kasus keracunan massal dari Januari hingga Juli, tetapi jumlah itu melonjak menjadi 51 kasus hanya dalam periode Agustus hingga September. Artinya, dalam tempo sebulan, angka keracunan meningkat lebih dari dua kali lipat.
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik. Di balik setiap kasus, ada anak-anak yang mengalami sakit, orangtua yang cemas, dan sekolah yang kelimpungan menghadapi situasi darurat. Lonjakan kasus juga mengundang pertanyaan serius tentang kualitas pengelolaan program MBG, mulai dari rantai distribusi, pengawasan mutu bahan pangan, hingga edukasi keamanan makanan di tingkat sekolah.
Ketika Niat Baik Tersandung Implementasi
Sejak awal, program MBG digadang-gadang sebagai ikon prioritas Presiden Prabowo Subianto dalam membangun generasi sehat dan berdaya saing. Namun, fakta lapangan memperlihatkan bahwa distribusi makanan dalam skala besar tidaklah sederhana. Kendala logistik, minimnya fasilitas penyimpanan, serta rendahnya kapasitas pengawasan mutu di daerah menjadi celah terjadinya keracunan massal.
Ilustrasi: MBG Posyando Kota Padang (Foto:www.bgn.go.id)
Kasus yang merebak di sejumlah provinsi seolah menjadi alarm keras bahwa implementasi program sosial sebesar MBG tidak bisa hanya mengandalkan niat baik dan angka anggaran triliunan rupiah. Butuh mekanisme kontrol yang ketat, koordinasi lintas sektor yang solid, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam memastikan mutu layanan gizi benar-benar sampai sesuai standar.
Kita patut bertanya: siapa yang bertanggung jawab ketika makanan bergizi gratis justru menjadi ancaman kesehatan bagi anak-anak? Apakah pemerintah daerah yang lalai mengawasi, penyedia katering yang abai standar higienitas, ataukah desain program yang terlalu tergesa tanpa mitigasi risiko?
Solusi Menkes: Gizi dan Keamanan Pangan Masuk Kurikulum
Di tengah sorotan publik, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengajukan sebuah gagasan menarik: menjadikan gizi dan keamanan pangan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah. Menkes menilai, edukasi sejak dini akan membantu anak mengenali makanan yang tidak layak konsumsi, sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial dari bawah.