Gelombang aksi massa kembali mewarnai halaman depan republik ini. Pada 25 dan 28 Agustus 2025, ribuan warga turun ke jalan, mendatangi Gedung DPR dengan satu keresahan: mengapa wakil rakyat yang seharusnya merasakan denyut nadi publik justru meminta tambahan pendapatan di tengah sulitnya ekonomi masyarakat? Pertanyaan itu tidak berhenti di ruang diskusi, tetapi berlanjut menjadi amarah kolektif yang menjelma dalam teriakan, spanduk, dan langkah massa.
Namun, tragedi pun menyusul. Affan Kurniawan, seorang pemuda 21 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek daring untuk menafkahi keluarga, menjadi korban. Ia tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat kericuhan pecah di sekitar gedung parlemen. Affan bukan hanya angka statistik; ia adalah wajah rakyat kecil yang ironisnya terjebak dalam pusaran konflik antara massa dan aparat. Kematian itu menggoreskan luka mendalam dalam ingatan kolektif bangsa.
Suasana rumah duka Affan Kurniawan, driver ojol yang meninggal dilindas rantis polisi, di Jalan Lasem, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (29/8/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Rakyat Bersuara, Negara Harus Mendengar
Demonstrasi dalam demokrasi adalah wujud hak konstitusional warga negara. Konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan penyampaian aspirasi adalah cara rakyat menjaga marwah kedaulatannya. Ketika aspirasi itu berujung dengan korban jiwa, maka ada yang keliru dalam cara negara merespons. Aparat seharusnya menjadi pengayom, bukan pihak yang justru menciptakan trauma.
Aksi massa yang semula ditujukan untuk menolak kenaikan gaji DPR kini melebar: publik menuntut akuntabilitas Polri, menuntut keadilan bagi Affan, serta meminta negara hadir secara jujur di hadapan rakyat. Bila tuntutan ini diabaikan, wajar bila kekecewaan akan menjelma menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa membakar stabilitas politik.
Kritik terhadap DPR
Sesungguhnya, sorotan terhadap gaji dan tunjangan DPR bukan fenomena baru. Setiap kali isu kesejahteraan anggota dewan muncul, publik selalu membandingkannya dengan realitas sehari-hari: harga kebutuhan pokok yang melambung, kesempatan kerja yang terbatas, dan ketidakpastian ekonomi yang makin menekan. Anggota DPR seharusnya sadar, mereka dipilih bukan untuk memperjuangkan kesejahteraan pribadi, tetapi kesejahteraan rakyat.
Ketidakpekaan terhadap kondisi sosial-ekonomi rakyat hanya akan memperlebar jurang kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Sebuah jurang yang, bila dibiarkan, berpotensi menjauhkan rakyat dari parlemen---bahkan dari demokrasi itu sendiri.
Harapan Warga Biasa