Lihat ke Halaman Asli

Lubang Buaya, Sapaanmu Tak Sepadan Pengorbanan Jendralmu

Diperbarui: 5 Oktober 2016   04:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lubang Buaya, pusakaindonesia.org

Lima hari lalu, tepatnya Sabtu tanggal 1 Oktber 2016, ratusan juta warga berkabung, bukan karena mengenang Jendral Revolusi yang terbunuh, tetapi lantaran upacara Hari Kesatian Pancasila (Hapsak) telah berubah menjadi rutinitas tanpa  jiwa. Dari pusat sampai daerah sama, style peringatan itu tanpa roh. Cara menyapa monumen menyapa Lubang Buaya, tak sebanding dengan pengorbanan para jendral. 

Saya memiliki catatan istimewa mengenai pelaksanaan upacara Hapsak yang dipimpinlansung oleh Presiden Joko Widodo di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya.

Saya sedih, mungkin juga ratusan juta rakyat yang lain. Bayangkan peringatan itu sebatas  menggugurkan kewajiban. Presiden menjadi Inspektur upacara. Ketua MPR Zulkifli Hasan membaca naskah Pancasila. Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad membaca naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara itu, Ketua DPR Ade Komarudin membaca dan menandatangani naskah Ikrar. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membacakan doa penutup. Tak ada bedanya dengan upacara yang dilakukan anak-anak SMP. 

Lebih perih lagi, manakala upacara Hapsak hanya untuk kepentingan menghanguskan anggaran. Jangan disangka ongkosnya murah. Biaya keluar dari istana negara ke Lubang Buaya makan anggaran tidak bisa dibilang sedikit.

Tidak perlu menyebut nominal, mengutip ‘umpatan’ Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah,  biaya pengawalan Paspanpres, biaya tim dokter kepresidenan, dan biaya lainnya nyaris tidak membuahkan apa-apa.

Sayang, dalam momentum upacara itu tidak ada pesan Presiden untuk membangun ekonomi Pancasila, sebagaimana pernah digulirkan Guru Besar UGM Prof. Mubiyarto,sebelum Orde Baru rontog. Mestinya, datang Lubang Buaya, ingat Pancasila ingat ekonomi, karena kedunya ada kerterkaitan tak terpisahkan.  

Nawacita saja yang hebat. Rumusan serta implementasi ke praktek pembangunan ekonomi Pancasila, yang boleh juga disebut ekonomi kerakyatan, tidak dipesankan pada momentum peringatan bersejarah seperti Hapsak.                                                                                                      

Jadi, tidak ada yang aneh kalau  Wakil Bupati Gunungkidul dalam membaca teks Pancasila sempat kesleo lidah. Dari sila pertama hingga sila ke empat runtut komplit, sementara sila ke lima yang selengkapnya berbunyi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indenesia hanya dibaca: keadilan bagi seluruh rakyatIndonesia.

Banyakorang fasih ngomong Pancasila, tetapi sedikit yang pandai menerapkan dalam hidup berbangsa, bernegara, lebih spesifik lagi, hidup berekonomi.  

Dua kali Jokowi pidato di Lubang Buaya, dua kali pula dia lupa, bahwa Pancasila bisa menjadi jiwa atau roh perekonian bangsa, di tengah sistem kapitalisme yang makin merajalela. 

Datang ke Lubang Buaya bukan untuk menaruh hormat kepada para Jendral yang gugur, tetapi hanya untuk kepentingan rutinitas biar dianggap tidak melupakan sejarah. Perekonomian bangsa masih saja carut marut, yang kaya makin bergelimang harta, yang miskin, kian terunta-lunta.    




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline