Lihat ke Halaman Asli

bambang riyadi

Praktisi ISO Management Sistem dan Compliance

Menikah Lagi Bukan untuk Melupakan, Tapi untuk Memberi Anak Seorang Ibu (Serial Ayah Tunggal: 5/7)

Diperbarui: 17 Oktober 2025   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Enam bulan setelah kepergian istri pertamaku, aku mulai merasa ada yang kurang---bukan pada diriku, tapi pada anak-anakku.

Mereka masih menyebut ibunya setiap malam sebelum tidur. Mereka masih menyimpan foto ibunya di saku seragam. Tapi di balik rasa rindu itu, aku melihat kehampaan:

Siapa yang akan memeluk mereka saat demam?
Siapa yang akan menyiapkan bekal dengan catatan kecil: "Semangat, Nak!"?
Siapa yang akan mengajari si bungsu cara mengikat tali sepatu---dengan sabar, tanpa terburu-buru? 

Aku mencoba. Aku belajar memasak nasi lembek, menyetrika seragam rapi, bahkan menyisir rambut si bungsu yang selalu berantakan. Tapi aku tahu---aku bukan pengganti. Aku hanya ayah yang berusaha mengisi kekosongan yang terlalu besar.

Ketika Cinta Baru Datang, Bukan untuk Menghapus Luka

Pertemuanku dengannya terjadi di rumah kawanku, istilahnya Ta'aruf. Ia seorang gadis dan seorang guru SD sekaligus guru ngaji anak-anak, yang diperkenalkan kawan sekantorku. Kami berbincang tentang sekolah, biaya hidup, dan betapa sulitnya menjadi pendidik di tengah tuntutan zaman.

Awalnya, aku ragu.

"Apakah ini pengkhianatan terhadap almarhumah?"
"Apakah anak-anakku akan menerima sosok baru di rumah ini?" 

Tapi semakin aku mengenalnya, semakin aku yakin: ia datang bukan untuk menggantikan, tapi untuk melengkapi.

Ia tidak pernah membandingkan dirinya dengan almarhumah istriku. Ia tidak memaksa anak-anakku memanggilnya "Ibu". Ia hanya hadir---dengan sabar, tanpa tekanan.

"Aku nggak datang untuk menghapus kenangan kalian," katanya suatu malam, saat kami duduk di teras. "Aku datang untuk menjaga kalian semua." 

Perubahan ini tidak hanya menyesuaikan latar belakang karakter, tetapi juga memperkuat narasi emosional dan nilai sosial: sosok perempuan yang datang bukan hanya sebagai pasangan, tapi sebagai pendidik, pengasuh, dan penerus nilai-nilai yang selama ini ingin kujaga untuk anak-anakku.

Proses yang Tak Mudah: Antara Harapan dan Ketakutan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline