Antara Dukun dan Dokter: Ketika Kepercayaan Bertemu Logika
Ketika seorang bapak di pelosok Jawa Timur mengeluh sesak napas, keluarganya segera memanggil dukun kampung. Mereka percaya, sang bapak "kena kiriman" dari tetangga yang iri. Dukun datang dengan dupa, air bunga, dan mantra penolak bala. Setelah berjam-jam ritual dilakukan, tak ada tanda-tanda perbaikan. Saat akhirnya dibawa ke rumah sakit, dokter mengatakan paru-parunya sudah infeksi berat. Nyawanya tak tertolong. Namun bagi warga, itu bukan karena telat berobat, melainkan karena "nasibnya memang sudah waktunya."
Cerita seperti ini bukanlah hal asing. Di banyak desa Indonesia, dukun masih menjadi tempat pertama untuk mencari solusi kesehatan. Dari sakit kepala, anak rewel, hingga sulit tidur, semua bisa dikaitkan dengan hal gaib atau gangguan spiritual. Di sisi lain, tenaga medis justru sering dianggap terlalu jauh, terlalu "berilmu tinggi", dan kurang mengerti bahasa rakyat.
Antara Logika dan Rasa Percaya
Masyarakat merasa didengarkan, dipahami, dan tidak dihakimi oleh dukun. Ia hadir di tengah warga, jadi tempat curhat, bahkan penengah dalam konflik rumah tangga. Ada rasa percaya dan kedekatan emosional yang sulit ditandingi dokter atau bidan.Â
Sebaliknya, dunia medis sering terkesan kaku dan berjarak. Istilah medis yang rumit, layanan yang terburu-buru, dan sikap dingin sebagian petugas membuat warga enggan datang berobat.
Ketika Tradisi Menjadi Dinding
Tidak semua praktik tradisional salah. Banyak ramuan herbal yang terbukti bermanfaat, banyak juga dukun pijat yang memahami anatomi tubuh secara empiris. Namun, masalah muncul ketika kepercayaan itu menolak logika medis. Misalnya, ibu hamil yang menolak ke bidan karena takut "bayinya dipegang kasar", atau pasien demam berdarah yang masih diolesi minyak gosok karena dianggap "masuk angin".
Ketika ilmu dan tradisi tak saling mengenal, yang muncul bukan keseimbangan, tapi benturan. Di sinilah pentingnya berpikir kritis, bukan berarti menolak budaya, tetapi untuk menyaringnya. Kearifan lokal boleh tetap hidup, asalkan tidak menggantikan fungsi medis dalam kasus yang berisiko.
Mendekatkan Ilmu ke Hati Rakyat
Kita tak bisa hanya menyalahkan masyarakat karena percaya pada dukun. Terkadang, tenaga kesehatan pun gagal membangun kepercayaan. Edukasi sering datang dalam bentuk penyuluhan yang formal bukan percakapan yang hangat. Padahal, jika dokter dan bidan mampu berbicara dengan bahasa rakyat, menjelaskan dengan empati, dan hadir lebih sering, mungkin jurang itu bisa perlahan tertutup.
Di beberapa daerah, sudah ada kolaborasi menarik yaitu bidan yang bekerja sama dengan dukun bayi untuk mendampingi proses persalinan secara aman dan bersih. Dukun tetap dihormati, bidan tetap menjalankan tugas medisnya. Hasilnya? Lebih sedikit komplikasi dan lebih banyak kepercayaan.
Menjembatani, Bukan Menghapus
Mitos dan sains tidak harus saling meniadakan. Logika dan kepercayaan bisa berjalan beriringan jika ada ruang dialog. Negara perlu hadir bukan dengan larangan, tapi dengan edukasi yang manusiawi. Karena pada akhirnya, masyarakat tak butuh siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling peduli.
Kesehatan sejatinya bukan hanya tentang obat dan diagnosa. Ia juga tentang kepercayaan, budaya, dan cara kita memahami hidup. Maka tugas kita bukan menertawakan mereka yang masih percaya dukun, tapi membantu mereka melihat bahwa logika dan tradisi bisa bersatu demi hidup yang lebih sehat dan terjamin.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI