Ada satu kenangan yang masih melekat di ingatan saya: duduk di ruang tamu rumah desa, bersama keluarga dan tetangga, menonton TVRI di layar tabung hitam-putih.
Gambarnya sering bersemut karena antena miring, sehingga bapak harus naik genteng untuk mengarahkan besi panjang itu ke arah pemancar. Ketika gambar jernih muncul, ada rasa bangga yang sulit dijelaskan---seolah dunia sedang hadir di ruang tamu kami.
Malam minggu biasanya menjadi momen yang paling ditunggu. Kadang ada wayang kulit yang ditayangkan semalam suntuk, kadang gamelan dari Kraton, kadang pula berita tentang pembangunan desa di pelosok.
Semua tayangan itu mungkin sederhana, tetapi membuat kami merasa tidak sendirian. Ada rasa "menjadi bagian" dari sesuatu yang lebih besar: sebuah bangsa yang sedang tumbuh.
Prespektif Art Interpretatif [AI]
Di Tengah Badai Media Digital
Magis TVRI ada pada kedekatannya. Ia tidak sekadar televisi, melainkan jendela kolektif yang memotret denyut sosial dan budaya masyarakat.
Sejak pertama kali mengudara di Yogyakarta pada 17 Agustus 1965, menjadi hari bersejarah bagi dunia penyiaran di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di antara kemeriahan peringatan Kemerdekaan RI, TVRI Yogyakarta resmi mengudara, menjadi stasiun televisi pertama di wilayah ini.
TVRI kemudian hadir dan mengalir menjadi arsip hidup yang merekam wajah daerah: pesta panen, lomba desa, hingga pengumuman penting negara. Enam dekade kemudian, arsip itu adalah harta karun memori kolektif yang maknanya tak ternilai.