Namun, zaman bergerak cepat. Anak-anak muda kini lebih akrab dengan layar ponsel daripada televisi. Mereka menonton TikTok, YouTube, atau Netflix, yang menyajikan hiburan instan dengan kualitas visual mentereng. Sementara TVRI sering dianggap tua, lamban, bahkan usang.
Lebih berat lagi, kita hidup di era yang disebut post-truth: zaman ketika kebenaran sering kalah oleh opini, dan emosi lebih menentukan ketimbang data. Disinformasi berlari cepat, klarifikasi terseok di belakang. Algoritma media sosial membangun gelembung informasi yang mempersempit pandangan warga.
Di tengah badai ini, kepercayaan menjadi mata uang yang paling berharga. Sayangnya, TVRI kerap kesulitan menukar mata uang itu. Stigma lama sebagai "corong pemerintah" masih menempel kuat. Publik lebih sering melihat siaran pejabat daripada mendengar suara rakyat. Defisit kepercayaan pun terus membengkak.
Padahal, mandatnya jelas. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, TVRI bukan televisi pemerintah, melainkan milik rakyat. Ia dibiayai negara, tetapi harus berpihak pada publik.Â
Masalahnya, di mata publik, mandat hukum sering berhenti di atas kertas. Dalam praktiknya, TVRI masih kerap terjebak dalam pola birokratis yang kaku, membuatnya berjalan lamban sementara publik sudah melaju di jalan tol informasi.
Pertanyaan pun muncul: apakah TVRI Yogyakarta hanya akan dikenang sebagai nostalgia, atau berani berubah menjadi rumah publik yang relevan kembali?
Seperti pepatah Jawa berkata: "Urip iku urup"Â --- hidup itu menyala, memberi manfaat bagi sekitarnya. Begitu pula dengan media publik; ia akan kehilangan makna bila hanya berdiri sendiri, tanpa menerangi masyarakat yang menjadi alas keberadaannya.
Membangun Harapan, Merawat Relevansi
Meski banyak keterbatasan, TVRI Yogyakarta punya sesuatu yang tak bisa dimiliki media lain: kedekatan kultural. Ia lahir dan tumbuh di tanah yang kaya tradisi, tempat gotong royong dan budaya tutur masih hidup. Modal inilah yang membuat TVRI memilih jalan berbeda untuk bertahan: kembali ke akar, merawat budaya, dan merangkul komunitas.
Saya masih ingat ketika menonton acara Pangkur Jenggleng bersama keluarga. Tak ada panggung megah, tak ada efek cahaya modern, tapi suasananya hangat. Obrolan ringan, humor khas Jawa, dan musik sederhana membuat penonton merasa dekat. Begitu juga Pendopo Kang Tedjo, yang mengajak kita tertawa sekaligus merenung, atau Saba Desa, yang memperlihatkan wajah desa dengan segala problematikanya.
Program-program itu mungkin kalah glamor dibanding hiburan swasta, tapi justru di situlah kekuatannya. TVRI Yogyakarta menang dalam kedekatan emosional, menang dalam keberanian menampilkan realitas rakyat. Ia menyiarkan apa yang penting, bukan sekadar apa yang trending.