Lihat ke Halaman Asli

Azelia Rezqi Furqani

Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi

Esensi Idul Adha antara Daging Kurban, Sinyal Video Call, dan Penerimaan

Diperbarui: 8 Juni 2025   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

lebaran Idul Adha bersama teman teman asrama putri sulawesi selatan (sumber:dokumentasi pribadi)

"Keluarga tetap menjadi tempat pulang, bahkan saat hanya bisa bertemu lewat layar dan sinyal yang terputus-putus"  Idul Adha selalu jadi momen penuh makna. Lebih dari sekedar hari besar, Ia adalah simbol pengorbanan, penerimaan, dan keikhlasan dari kisah Nabi Ibrahim  yang rela mengorbankan putranya, dan Ismail yang ikhlas menjalani takdirnya. Tapi tahun ini, makna itu datang dalam bentuk yang sangat personal bagi saya sendiri. 

Ini lebaran pertama saya tidak dibersamai oleh keluarga. Biasanya pagi pagi suasana rumah sudah gaduh bersiap siap melaksanakan salat ied di masjid yang jaraknya cuma lima langkah itu, tapi entah kenapa kami tetap saja datangnya selalu mepet waktu shalat dan akhirnya kebagian tempat tersisa di belakang. Drama lebaran memang selalu ada saja, kalau kata anak-anak gen Z zaman sekarang, "vibes idul adha tuh suasana rumah udah kek papa mama mau cerai"

Tapi di tanah rantau, susanannya sepi. Di kota yang belum sepenuhnya akrab, dikelilingi hal-hal asing, takbir tetap berkumandang, tapi nadanya berbeda. Tidak ada suara mamah yang nyuruh cepet cepet ke masjid, gaada moment sungkeman bareng keluarga, gaada moment malakin om-om dan tante-tante uang THR. Semuanya sunyi, semuanya asing. Tapi dari keheningan itulah saya belajar, belajar menerima keadaan bahwa tidak semua hari raya akan terasa sempurna. Saya belajar bahwa jauh dari rumah bukan berarti kehilangan makna. Justru, saya merasa lebih dekat dengan esensi Idul Adha: pengorbanan dan keikhlasan.

"Menerima adalah bentuk kedewasaan hati bahwa keadaan tak selalu sesuai dengan keinginan"

Satu moment yang paling saya tunggu: video call dengan keluarga. kami tertawa, bertukar cerita, saling memamerkan menu makanan idul adha. Saya tertawa, sambil menelan rindu. Melihat wajah wajah yang saya sayangi tersenyum di layar, itu sudah cukup untuk membuat saya merasa "pulang", walau hanya secara batin.

proses pemotongan daging kurban (sumber: dokumentasi pribadi)

Hal yang paling tak terlupakan di Idul Adha kali ini adalah keterlibatan saya ikut membantu proses pemotongan hewan kurban. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya memegang pisau dan ikut memotong daging. Daging yang biasanya tersedia begitu saja di meja makan rumah, kini harus saya saksikan sendiri prosesnya.

Idul Adha di tanah rantau mengajarkan saya banyak hal. Tentang ikhlas melepaskan kenyamanan demi sebuah tujuan mulia. Tentang menerima keadaan yang tidak ideal sebagai bagian dari proses bertumbuh. Dan tentang makna pengorbanan yang tidak selalu besar dan heroik, tapi sesederhana memotong daging untuk pertama kalinya.

Tahun ini saya tidak pulang. Tapi saya tidak pernah benar-benar pergi, hati saya tetap bersama keluarga, dengan doa-doa yang naik bersama takbir, dan bersama makna kurban yang kini saya pahami jauh lebih dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline