Ledakan tawa menyapu seisi ruangan tanpa sisa, bagai bom atom. Di sebuah ruangan lelaki-lelaki dewasa yang biasa dipanggil pak guru, berkumpul.
"Beneran, lobangnya sudah ditengok?"
"Memang berapa lobang yang Bapak sudah tengok?"
"Wah lobangnya besar atau kecil, Pak? Muat ndak kira-kira, Pak?"
"Bahaya nih, Bapak nengok lobang siapa?"
Di meja pojok, seorang perempuan yang juga biasa dipanggil bu guru, ikut terpingkal. Usianya mungkin sekitar empat dasawarsa, nyaris sama dengan lelaki-lelaki yang biasa dipanggil pak guru itu, tapi di antara mereka, hanya dirinyalah yang belum menikah.
"Ibu ini, ketawanya paling keras, emang uda pernah ditengokin lobangnya, Bu?"
Dinding-dinding dalam ruangan mendekat, menghimpit tiga sosok berpakaian putih abu, yang sama berada dalam ruangan itu. Remaja lelaki dan perempuan, bergegas menyerahkan daftar penerima dalam map. Mereka saling melempar pandang, wajah mereka memerah bagaikan kepiting rebus.
"Ini ngomongin apa sih, Pak?" tanya seorang perempuan lain yang biasa juga dipanggil bu guru, yang mungkin merasakan dinding-dinding menghimpit serupa seperti ketiga muridnya.
"Ini, Bu, cuma soal lobang buat darah kambing dan sapi besok pas pemotongan kurban."
Perempuan yang merasakan dinding terus menghimpit itu kemudian memutuskan untuk mencabik potongan tubuh siswa-siswinya, mengumpulkannya dalam map, dan membawanya pergi dari ruangan menyesakkan dada itu.