Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Semerbak Lavender di Kintamani: Bab Tiga Belas

Diperbarui: 9 Oktober 2025   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Keesokan paginya, Anggun sudah berada di luar ketika truk pikap Maurice berbelok ke jalan masuk. Angin bertiup dari laut, membawa aroma asin rumput laut dan kicauan burung camar dari jauh.

Maurice keluar, mengenakan celana jin, kaus abu-abu, dan memegang termos. "Kuharap kau masih meminumnya tanpa gula." Dia tersenyum. "Dan kental."

Mereka duduk di tangga teras, kopi mengepul di udara yang jernih. Untuk beberapa saat, mereka nyaris tak berbincang. Hanya suara angin yang bergumam di latar belakang, dan derit talang air mengingatkan mereka bahwa rumah itu sedang menunggu---uluran tangan, untuk kehidupan.

Lalu Maurice berdiri, meregangkan tubuh, dan berjalan ke mobil.

"Aku membawa banyak barang. Cat, kuas, sekrup, dempul. Dan suasana hati yang baik."

Anggun tertawa pelan. "Itulah yang paling kita butuhkan."

Hari pertama terasa sulit. Di lorong, mereka merobek kertas dinding yang terkelupas menjadi lembaran-lembaran tebal, menebarkan bau lem pasta dan kertas tua. Maurice bekerja dengan tenang, dengan gerakan yang presisi. Dia tak banyak bicara, tetapi ketika dia bicara, ucapannya langsung ke intinya.

Anggun belajar kembali menggunakan tangannya. Jari-jarinya terasa kasar, lengannya lelah---tetapi dia merasakan kepuasan mendalam yang belum pernah dia rasakan di laboratorium atau kontes aroma mana pun.

Pada hari kedua, mereka membereskan ruang tamu. Bersama-sama, mereka melepas penutup furnitur. Di bawah salah satu penutup, sebuah kursi bersayap tua muncul---berdebu tetapi masih utuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline