Lihat ke Halaman Asli

Antara Niat Baik dan Penolakan: Refleksi Iman di Tengah Tradisi Sosial yang Berbeda

Diperbarui: 5 Oktober 2025   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedang berdoa (Sumber gambar: www.meta.ai)

Sebagai manusia, kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang saling bergantung satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang mampu hidup sepenuhnya sendiri tanpa kehadiran orang lain.

Dalam kehidupan bermasyarakat, relasi dengan sahabat, keluarga, dan tetangga menjadi bagian penting dalam membentuk kehidupan yang harmonis dan saling menopang. Ketika seseorang mengalami kesulitan atau permasalahan, secara kodrati kita terdorong untuk menunjukkan simpati dan empati.

Tindakan simpati dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk: memberi dukungan moral, mendengarkan keluh kesah, memberikan bantuan materiil, atau sekadar hadir sebagai tanda kepedulian.

Kehadiran dalam momen-momen sulit, seperti saat sahabat, keluarga atau tetangga mengalami duka, merupakan wujud nyata dari kasih dan solidaritas kemanusiaan.

Dalam tradisi iman Kristen, tindakan saling menghibur dan mendoakan keluarga yang sedang berduka merupakan panggilan kasih yang luhur. Firman Tuhan mengajarkan untuk saling menanggung beban, agar setiap orang tidak merasa berjalan sendiri di tengah penderitaan.

Idealnya, masyarakat dan keluarga besar dapat saling menerima uluran tangan dengan hati terbuka, tanpa prasangka dan ketakutan yang tidak berdasar.

Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sering kali berbeda dari idealitas tersebut. Niat baik kita tidak selalu diterima atau dipahami dengan cara yang sama oleh orang lain. Terkadang, tindakan simpatik yang tulus justru disalahartikan, dicurigai, atau bahkan ditolak.

Dalam konteks budaya dan kepercayaan masyarakat tertentu, masih ada anggapan-anggapan atau keyakinan yang bisa mengaburkan makna sebenarnya dari sebuah tindakan kasih. Misalnya, kehadiran seseorang untuk memberikan doa atau penghiburan saat keluarga sedang berduka, yang seharusnya menjadi wujud empati, justru bisa ditanggapi dengan penolakan atau rasa curiga.

Faktor perbedaan cara pandang, pengalaman masa lalu, serta ketidaktahuan akan makna doa dapat menjadi pemicu kesalahpahaman tersebut. Selain itu, dalam dinamika keluarga besar, terkadang ada ketegangan yang tidak terlihat, seperti konflik internal, perbedaan keyakinan, atau kebiasaan turun-temurun yang kuat, sehingga niat baik tidak selalu disambut dengan tangan terbuka.

Realitas sosial ini menunjukkan bahwa hubungan antar manusia tidak selalu berjalan mulus seperti yang diidealkan. Kebaikan hati tidak menjamin penerimaan yang baik, sebab penerimaan sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan kondisi emosional pihak lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline