Lihat ke Halaman Asli

Asep Setiawan

Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

G30S: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh

Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

G30S 1965: Tragedi yang Menyelamatkan atau Luka yang Belum Sembuh?

Menelusuri Jalan Tengah antara Dendam Sejarah dan Hikmah Geopolitik

Disclaimer: Ini adalah isu sensitif. Disarankan dicerna dengan dewasa dan sampai tuntas agar tidak banyak salah paham terjadi.

Abstrak:

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) merupakan salah satu simpul sejarah paling berdarah, kompleks, dan kontroversial dalam perjalanan bangsa Indonesia. Di satu sisi, peristiwa ini memicu pembersihan besar-besaran terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan para simpatisannya, yang menewaskan ratusan ribu hingga hampir sejuta jiwa. Di sisi lain, ada argumen historis dan geopolitik yang menyatakan bahwa tragedi ini---sekejam apa pun dampaknya---secara tidak langsung mencegah potensi konflik ideologis berkepanjangan seperti Revolusi Kebudayaan di Tiongkok atau perang saudara seperti di Vietnam. Tulisan ini tidak bertujuan menghakimi, melainkan mengajak pembaca membuka lembar demi lembar sejarah dengan hati-hati, reflektif, dan terbuka. Melalui analisis karakter tokoh, visi ideologis, serta konfigurasi geopolitik saat itu, penulis mencoba merumuskan narasi alternatif yang mendamaikan memori kolektif dengan realitas masa depan bangsa.

Latar Belakang:

Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan bukan hanya diwarnai perjuangan fisik melawan penjajahan, tetapi juga oleh pertarungan ideologi di dalam negeri. Puncak dari konflik ideologis itu terjadi pada malam 30 September 1965, ketika sejumlah petinggi militer diculik dan dibunuh dalam sebuah kudeta yang gagal, yang kemudian dikaitkan secara langsung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah itu, gelombang anti-komunisme melanda negeri ini dengan brutal. Ratusan ribu nyawa melayang, dan hingga kini, narasi dominan mengenai G30S masih menyisakan luka, misteri, dan polarisasi. Namun, di tengah tragedi itu, muncul pertanyaan reflektif: "Apa yang akan terjadi jika G30S tidak pernah terjadi?" Apakah Indonesia akan menjadi negara komunis otoriter seperti Tiongkok pada era Mao? Apakah perang saudara tak terhindarkan seperti Vietnam?

Tulisan ini tidak berangkat dari posisi ideologis, melainkan dari kesadaran bahwa sejarah, betapa pun gelapnya, harus dilihat utuh, jernih, dan penuh kejujuran intelektual. Sebab bangsa yang tak mampu berdamai dengan sejarahnya sendiri akan terus terombang-ambing oleh trauma dan kebencian.

OUTLINE

I. Pendahuluan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline