(Seri "Tafsir Rasa" - Esai Kesembilanbelas)
Catatan: Tafsir Rasa bukan ditulis untuk menghakimi siapa pun. Ini bukan sekadar kisah sedih, melainkan latihan jujur pada rasa yang sering kita simpan, tapi enggan kita hadapi. Karena sebelum melepaskan, kita butuh ruang untuk memeluk apa yang dulu pernah membuat kita memilih tetap tinggal, meski sebenarnya hati sudah ingin pergi.
Kamu tahu ini menyakitkan. Tapi kamu tetap bertahan dalam hubungan. Mungkin bukan karena cinta, tapi karena belum berani kehilangan.
Dr. Patrick Carnes, pakar perilaku adiktif, menyebut ikatan seperti ini sebagai trauma bonding: kondisi batin ketika seseorang justru merasa terikat pada orang yang menyakitinya karena siklus disakiti dan diberi harapan, yang terasa seperti disayang.
Saat Logika Tak Bisa Menyelamatkan Hati
Kamu sadar dia menyakitimu. Tapi entah kenapa, kamu tetap bertahan.
Bukan karena kamu bodoh. Tapi karena ada kecewa yang belum selesai, di dalam dirimu sendiri.
Logika dan teman mungkin sudah berkata "pergi saja." Tapi hatimu masih terbelenggu menanti satu kata atau pesan darinya, seolah itulah yang membuktikan kamu masih layak dicintai.
Di sinilah trauma bonding bekerja diam-diam. Menurut Dr. Patrick Carnes, ini terbentuk lewat siklus luka hati, penurunan harga diri, dan kemudian sedikit harapan yang datang tanpa diduga.
Attachment Project bahkan memetakan perjalanan trauma bonding ke dalam 7 tahap:
- Love Bombing : dia tampil sangat manis, pujian dan perhatian berlebihan.
- Trust & Dependency : kamu mulai percaya dan bergantung.
- Criticism & Devaluation : pujian berubah jadi kritik; kamu jadi merasa selalu salah.
- Gaslighting : kamu dibuat ragu dengan rasa dan ingatanmu.
- Resignation & Giving Up : kamu menyerah dan berhenti berontak.
- Loss of Self : kehilangan diri sendiri, yang tersisa hanya "aku padanya".
- Emotional Addiction : rasa sakit dan harapan jadi candu yang sulit dilepas
Kamu tahu ini tidak sehat. Tapi kamu juga takut kehilangan satu-satunya orang yang bikin kamu betah bertahan, meski tahu itu nyakitin.
Dan ketika logika tak lagi cukup untuk menyelamatkan hati, kamu pun diam-diam mulai terbiasa menyimpan luka, seolah itu cara paling aman untuk bertahan, padahal luka yang disimpan justru semakin dalam dan sulit dilepaskan.
Luka yang Sudah Terbiasa Diterima
Kamu bilang kamu mau pergi. Sudah kamu coba. Tapi nyatanya, satu pesan darinya saja... cukup untuk menarikmu kembali. Sudah memblokir, sudah bilang "cukup," sudah menangis dalam diam. Tapi satu pesan darinya, yang isinya cuma "kamu apa kabar?" dan kamu kembali terseret ke tempat yang sama: menunggu, berharap, lalu kecewa lagi.