Program makan bergizi gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah mendapat kritik tajam dari Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (BEM PTNU) se-Nusantara. Mereka menilai kebijakan ini boros anggaran, tidak efektif, dan berisiko gagal jika tidak dikelola dengan transparan serta berkelanjutan.
Presidium Nasional BEM PTNU se-Nusantara, Arip Muztabasani, menegaskan bahwa program ini berpotensi menjadi proyek populis tanpa dampak nyata bagi masyarakat. Ia menyebutkan bahwa selain rawan korupsi, kebijakan ini juga minim kajian jangka panjang untuk menyelesaikan permasalahan gizi secara berkelanjutan. Anggaran Jumbo, Risiko Korupsi Tinggi.
Arip Muztabasani menyoroti besarnya anggaran yang dikucurkan untuk program ini, yang menurutnya berpotensi tidak tepat sasaran. "Pemerintah harus transparan dalam penggunaan anggaran ini. Jangan sampai uang rakyat hanya menguntungkan segelintir elit atau perusahaan besar yang bermain di sektor pengadaan bahan pangan," ujarnya.
Menurutnya, tanpa pengawasan ketat, program ini dapat menjadi ladang korupsi dan rawan diselewengkan. Mekanisme pengadaan bahan makanan yang tidak transparan juga membuka peluang bagi praktik mafia pangan yang merugikan masyarakat.
Kualitas Makanan Dipertanyakan
Selain masalah anggaran, BEM PTNU se-Nusantara juga mempertanyakan kualitas makanan yang diberikan. Banyak kasus di mana makanan yang didistribusikan hanya mengejar kuantitas tanpa memperhatikan nilai gizi yang dibutuhkan anak-anak. Bahkan, di beberapa daerah, ditemukan makanan yang tidak layak konsumsi, menimbulkan kekhawatiran terkait lemahnya pengawasan.
"Kita ingin pastikan program ini benar-benar memberikan makanan yang bergizi, bukan sekadar nasi bungkus tanpa standar kesehatan yang jelas," tegas Arip.
Distribusi Bermasalah, Masyarakat Rentan Tetap Sulit Akses
Di lapangan, Arip melihat program ini belum berjalan optimal, terutama di daerah terpencil. Ia menilai sistem distribusi yang belum matang justru menghambat akses bagi kelompok masyarakat miskin yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
"Kita masih menemukan banyak daerah yang belum tersentuh program ini secara merata. Kalau distribusi saja tidak beres, bagaimana kita bisa bicara soal efektivitasnya?" katanya.
Menghancurkan Usaha Kecil?
BEM PTNU se-Nusantara juga mengkritik dampak negatif program ini terhadap usaha kecil dan petani lokal. Jika pengadaan makanan hanya dikuasai oleh korporasi besar, maka UMKM dan petani kecil akan tersingkir dari rantai pasok pangan.
"Pemerintah seharusnya lebih berpihak pada petani dan UMKM, bukan malah memberi kesempatan pada korporasi besar untuk memonopoli pengadaan bahan pangan," tegas Arip.
Jangka Pendek dan Tidak Berkelanjutan
Lebih jauh, ia menilai program ini tidak memiliki solusi jangka panjang. Tanpa edukasi gizi dan pemberdayaan ekonomi, program MBG hanya akan menciptakan ketergantungan.
"Kalau anggaran nanti habis, apa yang akan terjadi? Anak-anak ini kembali ke pola makan yang sama buruknya. Harus ada kebijakan yang lebih mendasar, bukan sekadar bantuan sementara," ujarnya.
Saran dan Masukan dari BEM PTNU se-Nusantara
Sebagai solusi, BEM PTNU se-Nusantara memberikan sejumlah rekomendasi agar program MBG lebih efektif dan transparan:
- Transparansi Anggaran dan Pengadaan
Pemerintah harus membuka data anggaran secara publik dan memastikan mekanisme pengadaan bahan makanan dilakukan secara transparan.