Pada 4 Juli 2025, Chronicles #19 bersama Prof. Melani Budianta tayang di kanal YouTube Endgame/Chronicles.ID. Disajikan dalam format percakapan panjang bersama Mas Bagus Muljadi, episode ini seakan melampaui bentuknya sebagai podcast. Ia menjelma menjadi peristiwa intelektual yang langka, reflektif, dan mendalam. Dalam dunia yang semakin tergesa dan bising, obrolan ini menghadirkan ruang sunyi—bukan karena heningnya, tetapi karena keberaniannya untuk menyuarakan yang selama ini dipinggirkan. Dari luka sejarah, subjektivitas sebagai kekuatan pengetahuan, hingga demokrasi yang lahir dari partisipasi dan empati, bukan hanya prosedur.
Esai ini tersusun bukan untuk mengulas isi episode, melainkan untuk menangkap nilai penting dari percakapan tersebut. Sebagai arsip pemikiran kolektif, sebagai pelajaran moral yang lahir dari tubuh yang pernah dilukai sejarah, dan sebagai suara jernih yang mengajak kita berpikir ulang tentang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan makna menjadi manusia. Percakapan ini menghidupkan kembali sesuatu yang makin jarang ditumbuhkan, termasuk keberanian untuk berpikir perlahan, untuk mengaku luka, dan untuk merajut pemikiran lintas disiplin sebagai bentuk kasih terhadap masyarakat.
Di tengah kegilaan sistem ranking akademik, pengasingan ilmu lokal, serta demokrasi yang kehilangan arah etisnya, suara Prof. Melani hadir bukan sebagai teriakan, tetapi sebagai desah yang menembus. Dalam percakapan itu, ia tidak hanya bicara sebagai akademisi, tetapi sebagai saksi zaman, ibu, perempuan, dan bagian dari minoritas yang telah menjalani sejarah panjang terasingkan di tanahnya sendiri. Sementara itu, peran Mas Bagus Muljadi tak kalah penting. Dengan kepekaan ilmuwan dan empati kulturalnya, ia membuka jalan bagi dialog yang jujur, tajam, dan terjaga ritmenya.
Merekalah yang menghadirkan episode ini bukan sebagai produk media, melainkan sebagai ruang belajar bersama. Dan karena ruang-ruang seperti ini terlalu sedikit, kita perlu menjaganya—dengan cara mencatat, merespons, dan menyuarakannya kembali.
Sastra: Ruang Politik dan Subjektivitas yang Membebaskan
Sejak awal percakapan, Prof. Melani Budianta menempatkan sastra bukan sebagai pelengkap estetika dalam kehidupan modern, tetapi sebagai ruang yang paling jujur untuk menyuarakan yang tertindas. Di saat sejarah resmi kerap menyingkirkan pengalaman yang tidak nyaman bagi kekuasaan, sastra menyimpan suara-suara yang dikeluarkan dari panggung besar narasi bangsa. Dalam kata-katanya sendiri, "sastra adalah tempat subjektivitas dipreservasi"—suatu ruang tempat seseorang dapat hidup kembali dalam imajinasi dan suara yang utuh, meskipun tubuh dan peristiwanya telah disenyapkan.
Kekuatan sastra, menurut Prof. Melani, terletak pada kemampuannya menjembatani pengalaman manusia yang tak tertuliskan oleh angka dan tabel. Ketika ia berbicara tentang bagaimana anak-anak muda hari ini bisa merasakan kembali ketakutan Orde Baru, kekejaman terhadap mahasiswa, atau pembungkaman wacana hanya lewat membaca sebuah novel, kita diingatkan bahwa fiksi bukan kebohongan, melainkan pintu masuk menuju realitas yang lebih kompleks. Ketika realitas dibungkam, fiksi bicara.
Narasi personal menjadi penting bukan karena ia benar secara historis, tetapi karena ia jujur secara afektif. Ia membongkar dominasi epistemik yang selama ini menjadikan "ilmu" sebagai milik segelintir yang bisa menulis dalam bahasa kuasa. Melalui sastra, orang bisa bicara tanpa harus lulus S3. Orang bisa memahami dunia meski tak pernah duduk di ruang seminar. Di sinilah letak pembebasan itu. Sastra memberi ruang bagi mereka yang hidupnya selalu dituliskan oleh orang lain, untuk akhirnya menuliskan dirinya sendiri.
Pendidikan: Dongeng, Imajinasi, dan Anak Disleksik
Salah satu momen paling personal dan menyentuh dalam episode Chronicles #19 terjadi ketika Prof. Melani Budianta berbagi pengalaman masa kecilnya sebagai anak disleksik. Di tengah kesulitan memahami teks dan angka, ia sempat dianggap bodoh oleh lingkungan sekitar. Namun justru dari seorang guru—yang tidak membawakan rumus atau definisi, melainkan dongeng—jalan terang itu terbuka. Lewat cerita tentang roti yang dibagi empat untuk anak-anak seorang janda, Prof. Melani belajar pecahan matematika bukan melalui hitungan, tapi melalui kasih dan narasi. Ia tidak belajar angka; ia belajar perasaan manusia di balik angka itu.
Kisah ini bukan nostalgia, melainkan kritik yang tajam terhadap sistem pendidikan kita hari ini. Sistem yang terlalu teknis, terlalu terukur, terlalu sibuk mengejar kompetensi kognitif sampai lupa membentuk ruang imajinatif. Anak-anak dijejali belasan mata pelajaran, diuji terus-menerus, tetapi jarang diberi waktu untuk mengkhayal, mendengar cerita, atau mengalami makna dari apa yang mereka pelajari. Pendidikan yang semestinya membentuk manusia utuh, kini sekadar menjadi pabrik pengolah nilai dan skor.
Dongeng, yang sering dianggap enteng atau sekadar pengisi waktu senggang, sebenarnya adalah dasar dari literasi kemanusiaan. Di dalam dongeng, anak-anak belajar tentang ketakutan, keberanian, kehilangan, dan harapan. Mereka belajar membayangkan dunia yang belum pernah mereka lihat. Imajinasi bukan pelarian dari kenyataan, tetapi kemampuan untuk merasakan kenyataan orang lain. Dan itu adalah awal dari empati.