Kakak Yang Hilang
Oleh Arifulhak Atjeh
Terik matahari Medan mengoyak kulit, namun tak sedikit pun melunturkan keceriaan di wajah dua bersaudara itu. Alif, bocah SMP dengan bahu yang mulai melebar menahan beban hidup, menuntun adiknya, Syam, yang masih ingusan kelas empat SD. Setiap hari, sepulang sekolah---atau terkadang tanpa sempat menyentuh bangku sekolah---mereka berdua menyusuri lorong-lorong Pasar Raya Medan yang hiruk pikuk, menjajakan asongan dengan suara melengking namun penuh harap.
"Permisi, Bu! Tisu, permen, air mineralnya, Bu!" seru Alif, suaranya sudah serak namun tetap lantang. Syam mengekor di belakangnya, meniru gerakan dan intonasi kakaknya, sesekali menyeka butiran keringat yang membanjiri dahi. Mereka adalah potret kegigihan di tengah kerasnya jalanan. Senyum tak pernah lepas dari wajah mereka, seolah kesulitan hanyalah bumbu penyedap bagi ikatan persaudaraan yang begitu kuat.
Siang itu, cuaca terasa lebih gerah dari biasanya. Panas menyengat membuat tenggorokan kering dan langkah terasa berat. Alif melihat adiknya mulai melambat. "Syam, sini! Kita istirahat dulu," ajaknya, menarik tangan Syam menuju teras sebuah rumah kosong yang sedikit teduh. Di sana mereka berbagi air minum, berbagi mimpi, dan saling menguatkan.
"Berapa lama lagi kita harus terus berjualan asongan seperti ini, Syam?" tanya Alif, suaranya tercekat.
Syam menjawab dengan polos dan penuh semangat, "Saya siap ikut Kakak selamanya!"
Alif tersenyum, menahan gejolak di dada. "Dik, ini cara kita untuk bisa sekolah, untuk mengubah nasib. Kita harus kuat."
Malam-malam panjang mereka habiskan di rumah kontrakan sempit di pinggir kota. Kadang listrik padam, kadang suara nyamuk lebih ramai daripada suara televisi tetangga. Tapi di tengah semua keterbatasan itu, kasih sayang menjadi sumber kekuatan. Alif sering membacakan buku pelajaran untuk Syam sebelum tidur. Ia ingin adiknya tetap semangat sekolah meski dengan pakaian seragam yang warnanya sudah pudar.
Pernah suatu malam hujan turun sangat deras. Atap bocor, air merembes ke dinding, membuat tikar tempat mereka tidur basah. Alif memeluk Syam erat, tubuhnya menjadi pelindung dari dingin malam. "Dik, suatu hari nanti, kita akan punya rumah sendiri, rumah yang atapnya nggak bocor, yang kamarnya ada jendela, dan di dapurnya selalu ada makanan hangat."
Mata Syam mengerjap, menatap kakaknya. "Serius, Kak? Rumah yang ada kulkasnya juga?"