Beberapa waktu belakangan, saya banyak mengamati — sekaligus terlibat — dalam obrolan grup Facebook para penjual Shopee dan Tokopedia. Grup ini biasanya ramai dengan diskusi ringan seputar strategi jualan, tips naikkan trafik, atau sekadar sharing keluh kesah setelah menghadapi sistem pengiriman dan pembeli yang aneh-aneh.
Tapi kali ini, suasananya beda. Lebih serius. Lebih berat. Dan bisa dibilang... lebih penuh keresahan.
Di Balik Kejayaan Marketplace, Ada Seller yang Terpinggirkan
Isu utama yang berulang dibahas adalah kenaikan biaya. Biaya promosi, biaya admin, dan yang terbaru: potongan gratis ongkir. Salah satu info yang cukup mengejutkan muncul dari Tokopedia, bahwa mulai Juni, biaya program bebas ongkir di Tokopedia (si hijau) akan naik dari 4% jadi 6%. Dan seperti biasa, Shopee (si oranye) biasanya tidak mau ketinggalan dalam urusan potong memotong.
Komentar di grup pun ramai. Mulai dari yang satire:
Naik-naik nggak cuma ke puncak gunung.
Sampai yang jujur dan getir:
Marketplace ini serasa minta kita jual rugi, tapi tetap senyum.
Beberapa penjual menyebut ini sebagai dampak dari oligopoli digital — dominasi marketplace oleh pemain besar non-lokal yang "dulu bakar-bakar uang promo buat matiin pesaing, sekarang giliran udah kuat, mulai main tekan seller."
TOCO: Nama Baru yang Mulai Muncul di Banyak Obrolan
Dari percakapan yang penuh keluhan itu, perlahan muncul satu nama: TOCO.
TOCO adalah marketplace baru yang dikabarkan didirikan oleh Arnold Sebastian Egg, pendiri Tokobagus (sebelum berubah jadi OLX). Saat ini TOCO masih dalam tahap awal, dan menariknya, tidak mengenakan biaya admin untuk seller.
Respons para penjual pun cukup beragam. Ada yang sudah coba buka toko di TOCO, ada yang masih sekadar nyimak, dan ada juga yang skeptis.
Komentar seperti ini bermunculan:
Saya pindah ke TOCO, tanpa fee.
Masih belum rame, tapi fiturnya udah cukup lengkap.
Tampilan TOCO mirip gabungan OLX dan Tokped, bisa upload dari Shopee dan Tokped langsung.