Minimnya jumlah pengawas SMA/SMK dan lemahnya pembinaan kepala sekolah menjadi akar rapuhnya sistem pendidikan. Langkah Gubernur menonaktifkan kepala sekolah dinilai reaktif, bukan solutif.
LEBAK, BANTEN — Ratusan siswa SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, sejak awal pekan ini melakukan aksi mogok belajar. Mereka menolak masuk kelas setelah seorang kepala sekolah, Dini Fitria, diduga menampar seorang siswa bernama Indra Lutfiana Putra yang kedapatan merokok di sekitar sekolah.
Aksi yang diikuti lebih dari 630 siswa dari 19 kelas itu menimbulkan kehebohan. Spanduk bertuliskan “Kami tidak akan sekolah sebelum Kepsek dilengserkan” terpampang di pagar sekolah.Kasus ini kemudian memaksa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten turun tangan, dan Gubernur Banten memutuskan menonaktifkan kepala sekolah sementara waktu. Namun di balik kemarahan dan tuntutan para siswa, ada pertanyaan besar yang jarang disentuh: di mana peran pengawas pendidikan, dan sejauh mana Pemerintah Provinsi Banten telah memastikan sekolah berjalan dengan tata kelola yang sehat?
Akar Masalah: Pengawasan yang Nyaris Lumpuh
Peristiwa Cimarga bukan semata persoalan emosional antara kepala sekolah dan siswa. Ini adalah gejala dari sistem pengawasan pendidikan yang lemah dan jauh dari rasio ideal. Saat ini, jumlah pengawas SMA/SMK di Provinsi Banten tidak sebanding dengan jumlah sekolah yang harus diawasi. Di beberapa wilayah, satu pengawas bahkan harus membina hingga 25 sampai 30 sekolah.
Padahal, secara ideal, satu pengawas seharusnya membina maksimal 10 sekolah agar pembinaan dapat dilakukan secara mendalam dan berkelanjutan.
Minimnya jumlah pengawas menyebabkan fungsi supervisi hanya bersifat administratif. Pengawas lebih sering memeriksa dokumen dan laporan, bukan melakukan pendampingan terhadap dinamika kepemimpinan kepala sekolah atau manajemen konflik di lapangan. Singkatnya, saya memandang “Kita punya sistem yang sibuk dengan administrasi, tapi abai pada kemanusiaan. Akibatnya, sekolah kehilangan bimbingan yang seharusnya hadir sebelum masalah membesar,”
Kita punya sistem yang sibuk dengan administrasi, tapi abai pada kemanusiaan. Akibatnya, sekolah kehilangan bimbingan yang seharusnya hadir sebelum masalah membesar
Langkah Gubernur: Tegas Tapi Dangkal
Penonaktifan kepala sekolah memang langkah cepat. Namun, dalam kacamata manajemen pendidikan, kebijakan itu lebih bersifat reaktif ketimbang preventif. Menonaktifkan kepala sekolah mungkin menenangkan situasi sementara, tetapi tidak memperbaiki akar persoalan: minimnya pembinaan, lemahnya sistem pengawasan, dan ketidaksiapan kepala sekolah dalam manajemen konflik.
Tindakan gubernur ini juga belum diikuti langkah strategis untuk memperkuat sistem pengawasan pendidikan. Tanpa reformasi struktural, insiden serupa hanya menunggu waktu untuk terjadi kembali di sekolah lain. Bagi saya, “Gubernur semestinya tidak berhenti pada sanksi. Ia harus memimpin pembenahan sistem pengawasan dan pembinaan kepala sekolah. Karena tanpa itu, krisis kepercayaan di sekolah akan terus berulang,”
Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi
Dalam sistem pendidikan menengah yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi, pengawas sekolah adalah ujung tombak pembinaan mutu dan karakter.Sayangnya, Pemerintah Provinsi Banten belum menunjukkan keberpihakan serius terhadap penguatan fungsi ini.
Keterbatasan anggaran, tidak adanya rekrutmen pengawas baru selama beberapa tahun terakhir, serta kurangnya pelatihan kepemimpinan dan manajemen konflik bagi kepala sekolah, menjadikan sistem pendidikan berjalan tanpa arah pembinaan yang konsisten.
Sementara itu, Dinas Pendidikan Provinsi Banten cenderung lebih fokus pada urusan teknis—seperti BOS, sarana-prasarana, dan akreditasi—ketimbang pembinaan karakter dan etika kepemimpinan sekolah. Padahal, dalam konteks pendidikan yang berkeadaban, kepala sekolah adalah figur moral, bukan sekadar administrator.
Rekomendasi untuk Gubernur Banten
Dengan menggunakan kacamata Manajemen Pendidikan, Kasus SMAN 1 Cimarga seharusnya menjadi momentum refleksi besar bagi Pemerintah Provinsi Banten. Saya melihat ada sejumlah langkah konkret yang bisa segera diambil:
- Tambah Jumlah Pengawas SMA/SMK Secara Signifikan
Pemerintah Provinsi Banten telah melakukan rekrutmen terbuka sejak tahun 2021 silam, namun sampai saat ini puluhan calon pengawas sekolah hasil seleksi belum mendapat penugasan. Padahal peluang untuk menurunkan rasio pengawas terhadap sekolah menuju batas ideal terbuka sangat lebar. - Perkuat Pelatihan Kepala Sekolah dan Pengawas
Fenomena diangkatnya banyak Kepala Sekolah baru harus dibekali dengan beragam pelatihan dan pengawasan yang berfokus pada pengendalian emosi, komunikasi empatik, serta penyelesaian konflik tanpa kekerasan. - Bangun Sistem Pengaduan dan Mediasi Sekolah
Pengembangan kanal pengaduan serta saluran formal dan aman bagi siswa dan guru perlu segera dilakukan untuk menyampaikan laporan atau keluhan tanpa takut akan represi. - Bentuk Tim Pengawasan Khusus di Dindikbud
Tim ini sangat mungkin dibentuk dengan melibatkan beragam stakeholer seperti Dewan Pendidikan, Dinas Perlindungan Perempuan, Perlindungan Anak, Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten, serta stakeholder lainnya untuk bertugas menindaklanjuti kasus di lapangan secara cepat, sekaligus memantau pola hubungan antara siswa dan pihak sekolah. - Instruksikan Kebijakan “Disiplin Tanpa Kekerasan” di Seluruh Sekolah Negeri
Dengan panduan yang jelas, pendampingan yang konsisten, serta kompetensi yang cukup, Kepala Sekolah cakap menegakkan aturan tanpa melanggar hak-hak siswa.