Stunting adalah isu kesehatan yang serius di Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan oleh kekurangan gizi yang berlangsung dalam jangka panjang selama seribu hari pertama kehidupan, yang mengakibatkan hambatan pada pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak. Stunting dapat diartikan sebagai kondisi di mana anak tidak tumbuh dengan baik karena kekurangan nutrisi kronis, sehingga tinggi badannya lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Penyebaran stunting cenderung lebih tinggi di kalangan balita yang ibunya mengalami kekurangan energi kronis (KEK) sejak awal kehamilan, yang langsung mempengaruhi perkembangan janin.
Stunting juga menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam pembangunan manusia. Menurut de Onis dan Branca, kerusakan fisik dan mental yang disebabkan oleh stunting bersifat permanen. Untuk mengidentifikasi stunting, dilakukan pengukuran tinggi badan anak; jika hasilnya berada di bawah -2 standar deviasi dari median WHO berdasarkan usia dan jenis kelamin, maka anak tersebut dikategorikan mengalami stunting. Proses ini sering kali terjadi secara perlahan dan tidak selalu terlihat jelas, meskipun anak tersebut tidak tampak sangat pendek. Penanganan stunting memerlukan pendekatan yang melibatkan berbagai sektor, termasuk kesehatan, pangan, pendidikan, sanitasi, dan pemberdayaan perempuan. Meskipun tinggi badan adalah indikator utama untuk mengidentifikasi stunting, fokus hanya pada pertumbuhan fisik saja dianggap tidak cukup efektif untuk jangka panjang.
Selain itu, WHO mengungkapkan empat kategori utama penyebab stunting: faktor keluarga dan rumah tangga, pemberian makanan tambahan yang tidak memadai, menyusui, serta infeksi. Faktor keluarga melibatkan kekurangan gizi sebelum kehamilan, saat hamil, dan saat menyusui, serta infeksi, kelahiran prematur, dan jarak antar kehamilan yang terlalu dekat. Aspek lingkungan rumah, seperti kurangnya stimulasi, perawatan yang tidak memadai, sanitasi yang buruk, dan rendahnya tingkat pendidikan pengasuh, juga berperan dalam hal ini. Akibat dari stunting yang dibahas dalam sosialisasi mencakup keterlambatan dalam perkembangan otak, yang dapat menyebabkan masalah jangka panjang seperti keterbelakangan mental, kemampuan belajar yang rendah, dan meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, serta obesitas.
Masalah stunting masih menjadi tantangan besar di Indonesia hingga saat ini. Dalam catatan, Indonesia menempati posisi keempat di dunia dan kedua di Asia Tenggara mengenai permasalahan ini, sehingga isu ini perlu ditindaklanjuti dengan serius karena dapat menghambat pertumbuhan serta perkembangan anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2023 menjelaskan bahwa stunting adalah keadaan di mana balita tidak tumbuh dengan baik akibat kurangnya asupan gizi secara terus-menerus, terutama dalam seribu hari pertama kehidupannya. Menurut data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting tercatat mencapai 21,6%. Walaupun angka ini telah menurun dari angka sebelumnya yang mencapai 24,4% atau sekitar 5,33 juta, angka tersebut masih terbilang tinggi, mengingat pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14% pada tahun 2024.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi stunting di wilayah Sulawesi Selatan mencapai 35%. Data terbaru dari Dinas Kesehatan Kota Makassar menunjukkan persentase balita yang mengalami stunting pada berbagai Puskesmas di Kota Makassar, dengan Puskesmas Barrang Lompo menduduki peringkat tertinggi dengan 34,77%, diikuti oleh Puskesmas Kassi-Kassi dengan 22,92%, dan Puskesmas Kaluku Bodoa di posisi ketiga dengan 18,47%. Angka prevalensi stunting di Kota Makassar masih jauh dari batas standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20%. Setelah pengumpulan data awal di Puskesmas Kassi-Kassi pada tahun 2023, terdapat 305 balita yang menderita stunting antara bulan Mei hingga Oktober.
Permasalahan lain yang berkaitan adalah bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), di mana beratnya kurang dari 2. 500 gram, yang menjadi faktor kesehatan yang berkontribusi terhadap angka kematian bayi. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki angka prevalensi BBLR yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, prevalensi BBLR di tanah air mencapai 6,2%. Meskipun ada penurunan dibandingkan dengan data dari Riskesdas sebelumnya, masalah ini tetap memerlukan perhatian serius karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang berisiko mengakibatkan kematian bayi.
Tingkat pendidikan seorang ibu juga berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya stunting. Anak-anak dari ibu yang memiliki pendidikan rendah berisiko lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya berpendidikan lebih tinggi. hal ini, menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung menerima lebih banyak pengetahuan tentang kesehatan selama masa kehamilan, termasuk pentingnya kecukupan gizi selama kehamilan.
Dalam persepektif sosiologi, hal ini dapat dianalisis melalui teori Determinan Struktural menjelaskan masalah stunting dengan menekankan peran faktor sosial dan ekonomi yang lebih luas sebagai penyebab utama kejadian tersebut. Penelitian yang dilakukan di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa faktor-faktor spesifik, seperti presentase Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan tingkat kemiskinan, memiliki dampak positif yang signifikan terhadap prevalensi stunting. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan dan BBLR di suatu daerah, semakin tinggi pula kemungkinan anak mengalami stunting. Situasi ini mencerminkan bagaimana kondisi sosial ekonomi yang kurang baik, seperti kemiskinan, mengakibatkan kurangnya akses terhadap gizi yang baik selama masa kehamilan dan awal kehidupan anak, yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan otak mereka.
Teori tersebut juga mengakui pentingnya intervensi kesehatan seperti Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan cakupan imunisasi dasar yang lengkap. Meskipun saat ini, dampak dari intervensi ini terhadap pengurangan stunting di Sulawesi Selatan belum menunjukkan hasil yang signifikan, tetapi ada korelasi negatif yang menunjukkan bahwa keduanya bisa membantu menurunkan angka stunting jika ditingkatkan. Ini mengindikasikan perlunya pendekatan yang melibatkan berbagai sektor, tidak hanya berfokus pada aspek medis tetapi juga memperbaiki kondisi sosial ekonomi seperti kemiskinan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan untuk menyelesaikan akar permasalahan stunting.
Penanganan masalah stunting di Sulawesi Selatan dilakukan dengan pendekatan menyeluruh melalui inisiatif Aksi Stop Stunting yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Program ini bertujuan untuk menjangkau sekitar 16. 128 individu yang memerlukan bantuan, terdiri dari 15. 120 anak balita dan 1. 008 ibu hamil di 504 desa yang tersebar di seluruh daerah Sulsel. Prioritas utama program ini adalah penyediaan makanan bergizi tambahan, bimbingan gizi untuk ibu-ibu hamil dan balita, serta pemberian insentif berupa tabungan bagi balita yang berhasil mengatasi masalah stunting. Insentif ini diberikan secara bertahap, dengan total nilai mencapai Rp 1 juta per anak, sebagai dorongan agar keluarga tetap berkomitmen dalam memenuhi kebutuhan gizi dan memantau perkembangan anak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI