Lihat ke Halaman Asli

Ekonomi Digital dan Quarter-Life Crisis: Peluang atau Ilusi?

Diperbarui: 7 Juni 2025   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Generasi muda Indonesia menghadapi tantangan besar dalam era ekonomi digital. Di satu sisi, teknologi membuka peluang baru dalam pekerjaan dan bisnis. Namun, di sisi lain, ketidakpastian finansial, persaingan yang semakin ketat, dan tekanan sosial memperburuk fenomena quarter-life crisis.

Fenomena ini semakin nyata ketika melihat bagaimana ekonomi digital mengubah pola kerja dan gaya hidup anak muda. Banyak yang beralih ke pekerjaan berbasis teknologi, tetapi tidak semua mendapatkan stabilitas finansial yang diharapkan. Apakah ekonomi digital benar-benar menjadi solusi bagi generasi muda, atau justru memperparah ketidakpastian hidup mereka?

Ekonomi digital di Indonesia berkembang pesat. Menurut Permatasari 2020, media sosial dan ekonomi digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda. E-commerce, fintech, dan industri kreatif berbasis digital menjadi motor utama pertumbuhan ini.

Selain itu, gig economy semakin populer di kalangan anak muda. Banyak yang memilih pekerjaan freelance atau kontrak melalui platform digital seperti Gojek, Tokopedia, dan Shopee. Data dari BPS (2020) menunjukkan bahwa jumlah pekerja freelance meningkat 12% dalam lima tahun terakhir. Fleksibilitas kerja menjadi daya tarik utama, tetapi apakah ini cukup untuk menjamin stabilitas finansial?

Namun, ada tantangan besar dalam ekonomi digital. Banyak pekerja gig yang tidak mendapatkan jaminan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan atau tunjangan pensiun. Hal ini membuat mereka rentan terhadap ketidakpastian ekonomi, terutama jika terjadi krisis atau perubahan kebijakan yang berdampak pada industri digital.

Meskipun ekonomi digital berkembang, banyak anak muda masih mengalami quarter-life crisis akibat ketidakpastian finansial. Tingkat pengangguran usia 15-24 tahun mencapai 16,42% pada 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya.

Selain itu, harga properti dan biaya hidup terus meningkat, sementara pendapatan dari pekerjaan digital sering kali tidak stabil. Studi Deloitte Global 2024 mencatat lebih dari 50% Gen Z cemas tentang masa depan finansial, sementara 45% lainnya mencemaskan kebutuhan sehari-hari. Media sosial juga memperburuk tekanan ini dengan standar kesuksesan yang tidak realistis.

Generasi muda sering kali merasa terjebak dalam budaya "hustle" yang memaksa mereka bekerja tanpa henti demi validasi sosial. Mereka sering kali merasa gagal jika tidak mencapai kesuksesan secara instan, padahal proses hidup seharusnya bertahap.

Generasi muda dihadapkan pada dilema besar: apakah mereka harus terus berinvestasi dalam keterampilan digital untuk bersaing di pasar kerja, atau fokus pada pekerjaan yang lebih stabil?

Banyak anak muda merasa terjebak dalam budaya "hustle" yang memaksa mereka bekerja tanpa henti demi validasi sosial. Mereka sering kali merasa gagal jika tidak mencapai sesuatu secara instan, padahal proses hidup seharusnya dinikmati dengan bertahap. Selain itu, banyak anak muda yang merasa bahwa ekonomi digital hanya menguntungkan segelintir orang. Perusahaan teknologi besar mendapatkan keuntungan besar, tetapi pekerja digital sering kali hanya mendapatkan bagian kecil dari ekonomi ini.

Ekonomi digital memang membuka peluang baru, tetapi tidak serta-merta menghilangkan tantangan yang dihadapi generasi muda. Quarter-life crisis tetap menjadi masalah serius, terutama bagi mereka yang berjuang dengan ketidakpastian finansial dan tekanan sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline