Kultus dan Fundamentalisme: Krisis Makna dan Pencarian Kepastian dalam Dunia Modern
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom, M.Sos
Pendahuluan
Fenomena kultus dan fundamentalisme merupakan dua wajah dari ekspresi keagamaan ekstrem di era modern. Keduanya mencerminkan kegelisahan spiritual manusia yang kehilangan keseimbangan antara iman dan rasionalitas. Di tengah derasnya arus modernisasi, manusia mencari pegangan yang absolut dan ketika agama tidak lagi dipahami sebagai jalan pencerahan, ia berubah menjadi alat pembenaran bagi kekuasaan dan eksklusivitas kelompok.
Sebagaimana dikemukakan oleh mile Durkheim (1912) dalam The Elementary Forms of Religious Life, agama sejatinya adalah cerminan solidaritas sosial. Namun, ketika solidaritas melemah, agama mudah diselewengkan menjadi sumber fanatisme. Sementara itu, Max Weber (1947) menjelaskan bahwa otoritas karismatik sering muncul di masa krisis sosial ketika individu membutuhkan figur yang diyakini membawa solusi spiritual dan emosional.
Kultus: Karisma yang Menjadi Dogma
Secara etimologis, kata cultus berarti "penghormatan" atau "penyembahan." Dalam sosiologi agama, kultus didefinisikan sebagai kelompok keagamaan yang berpusat pada figur kharismatik dengan loyalitas mutlak dari para pengikutnya. Weber menyebutnya sebagai bentuk otoritas karismatik, di mana ketaatan tidak didasarkan pada rasionalitas, melainkan pada keyakinan emosional terhadap "keistimewaan" pemimpin.
Menurut Steven Hassan (2015) dalam Combating Cult Mind Control, kultus bekerja melalui kontrol psikologis: membatasi informasi, menanamkan rasa takut, dan membentuk ketaatan mutlak. Dalam konteks modern, munculnya kultus juga berkaitan dengan krisis makna dan kekecewaan terhadap lembaga agama formal. Pemimpin kultus tampil sebagai sosok penyelamat, menawarkan keajaiban dan kepastian di tengah kebingungan eksistensial.
Ciri khas gerakan kultus antara lain:
1. Pemusatan otoritas pada figur pemimpin.
2. Penolakan terhadap kritik dan rasionalitas.