Menunggu Media Sosial Baru Bernama Pancasila
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom, M.Sos
Media sosial kini menjadi ruang publik baru yang membentuk opini, membangun identitas, bahkan memengaruhi arah kebijakan. Namun, dinamika media sosial global lebih banyak dikendalikan oleh logika algoritma kapitalis, yang seringkali mengabaikan nilai-nilai lokal dan etika bangsa (Castells, 2009).
Indonesia, dengan fondasi ideologi Pancasila, sesungguhnya membutuhkan media sosial yang tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga wahana pendidikan kebangsaan. Sebuah platform bernama "Pancasila" dapat menjadi simbol sekaligus instrumen untuk membumikan nilai-nilai luhur dalam ruang digital.
Krisis media sosial saat ini ditandai dengan merebaknya hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi. Fenomena ini terjadi karena minimnya kontrol nilai yang mendasari ruang digital (Tamburaka, 2019). Maka, menghadirkan media sosial berbasis Pancasila menjadi jawaban atas tantangan etika dan moralitas digital.
Pancasila sebagai dasar negara memuat lima sila yang sejatinya dapat menjadi pedoman etik dalam berinteraksi di media sosial: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini bila ditransformasikan ke dalam algoritma digital akan menciptakan ruang interaksi yang lebih sehat.
Secara filosofis, gagasan media sosial Pancasila adalah usaha menghadirkan "etika publik digital" yang menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab sosial. Konsep ini sejalan dengan teori Habermas mengenai ruang publik yang ideal, di mana komunikasi dijalankan secara rasional dan etis (Habermas, 1989).
Dalam konteks global, banyak negara berusaha menciptakan platform alternatif yang sesuai dengan identitas nasionalnya. China dengan WeChat, Rusia dengan VK, dan India dengan Koo adalah contoh bagaimana media sosial bisa hadir dengan cita rasa lokal sekaligus melindungi kepentingan bangsa (Shirky, 2011).
Indonesia tidak kalah potensial. Dengan jumlah pengguna internet lebih dari 200 juta orang (APJII, 2024), kehadiran media sosial Pancasila bukan hanya mimpi, melainkan kebutuhan strategis. Platform ini dapat menjadi medium untuk memperkuat literasi digital sekaligus memperkuat kohesi sosial bangsa.
Media sosial berbasis Pancasila juga bisa mengedepankan kurasi konten yang berorientasi pada nilai kemanusiaan dan persatuan, bukan sekadar clickbait. Dengan begitu, platform ini akan lebih mendidik, mengedepankan diskursus produktif, dan menjauhkan pengguna dari budaya konsumtif digital.
Tantangan terbesar tentu saja ada pada aspek teknologi dan investasi. Namun, Indonesia memiliki potensi startup dan talenta digital yang melimpah. Dengan dukungan negara, akademisi, dan komunitas kreatif, gagasan ini dapat diwujudkan secara bertahap.