Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Antara Ambisi Besar, Krisis Kepercayaan, dan Tantangan Tata Kelola
Tak terasa, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan genap berusia satu tahun pada 20 Oktober mendatang. Dalam kurun waktu singkat itu, pemerintah telah meluncurkan sejumlah kebijakan ambisius, dengan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bintang utamanya. Namun, di balik narasi "Indonesia Maju" dan "Kedaulatan Pangan", muncul krisis kepercayaan publik yang serius, terutama akibat puluhan ribu kasus dugaan keracunan siswa, tata kelola yang buram, dan pertanyaan besar tentang efektivitas birokrasi.
MBG: Janji Mulia yang Tersandung di Dapur
Program Makan Bergizi Gratis digadang-gadang sebagai terobosan sejarah: menyasar 82,9 juta warga, termasuk 44 juta anak sekolah, dengan anggaran awal Rp71 triliun dan rencana ekspansi hingga Rp450 triliun per tahun. Tujuannya mulia: menurunkan stunting, meningkatkan prestasi belajar, dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Namun, realitas di lapangan jauh dari ideal. Sejak Januari hingga September 2025, sedikitnya 6.457 anak dilaporkan mengalami keracunan massal akibat konsumsi makanan MBG. Kasus terjadi di Cianjur, Bandung, Gunungkidul, Lamongan, hingga Sumbawa. Bukan hanya sakit perut, beberapa anak harus dirawat intensif, bahkan ada laporan kematian yang masih dalam investigasi.
Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada menyebut akar masalahnya jelas: sistem produksi terpusat melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tak menerapkan standar keamanan pangan dasar. Makanan sering dimasak malam hari, disimpan tanpa pendingin, lalu didistribusikan keesokan harinya, kondisi sempurna untuk pertumbuhan bakteri berbahaya.
"Ini bukan sekadar kelalaian logistik. Ini kegagalan sistemik dalam tata kelola," tegas Dicky Budiman, pakar epidemiologi global.
Birokrasi yang Tumpang Tindih, Tanggung Jawab yang Kabur
Salah satu kelemahan fatal MBG adalah desain kelembagaan yang tidak jelas. Badan Gizi Nasional (BGN) (lembaga baru di bawah langsung Presiden) ditunjuk sebagai pelaksana utama, sementara Kementerian Pendidikan hanya jadi "penerima manfaat". Akibatnya, sekolah dipaksa jadi dapur, guru jadi pengawas logistik, dan kepala sekolah jadi penanggung jawab keamanan pangan tanpa pelatihan, tanpa insentif memadai.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'thi, bahkan terang-terangan mengeluh: "Tugas guru adalah mendidik, bukan mengelola rantai pasok makanan."
Sementara itu, payung hukum program ini masih belum final. Hingga kini, Peraturan Presiden (Perpres) tentang MBG belum diterbitkan, sehingga pelaksanaan berjalan dalam ruang abu-abu hukum, membuka celah untuk praktik tidak transparan, bahkan korupsi.
Transparency International Indonesia (TII) memperingatkan: risiko korupsi di MBG sangat tinggi, terutama dalam pengadaan bahan pangan dan penunjukan mitra SPPG. Laporan mereka menyebut adanya indikasi konflik kepentingan, di mana mitra dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi teknis.