Dari Fransiskus ke Fransiskus, Diteruskan Leo XIV: Kidung yang Tak Pernah Berhenti
Delapan ratus tahun lalu, di sebuah biara sunyi di Assisi, seorang lelaki buta menjelang akhir hidupnya akibat penyakit trakoma dan sakit parah menyusun kidung yang tak biasa: KIDUNG MATAHARI. Ia tak meminta kekuasaan, tak mengutuk musuh, apalagi memohon harta. Ia justru menyapa matahari sebagai saudara, bulan sebagai saudari, angin, air, api, bahkan kematian, semuanya ia panggil keluarga. Kidung Matahari bukan sekadar puisi. Ini adalah nyanyian persaudaraan kosmik, sebuah visi radikal yang mengatakan: alam bukan milik kita untuk dikuasai, melainkan anugerah untuk dirangkul.
Delapan abad berlalu. Bumi kita (Rumah Kita Bersama) kini terluka. Hutan dibabat, laut dipenuhi plastik, udara beracun, dan jutaan orang kehilangan tanah karena banjir, kekeringan, atau perang. Di tengah krisis ini, kidung itu kembali bergema. Bukan dari biara, tapi dari Vatikan.
Pada 2015, seorang Paus dari ujung selatan dunia mengambil nama Fransiskus, sebuah penghormatan langsung kepada sang santo dari Assisi. Ia menulis Laudato Si', ensiklik yang membuka mata dunia: krisis iklim bukan hanya soal lingkungan, tapi soal keadilan, solidaritas, dan dosa terhadap sesama dan ciptaan. Ia menyerukan "pertobatan ekologis", bukan hanya perubahan kebijakan, tapi perubahan hati. (sumber: humasindonesia)
Kini, di tahun 2025, saat kita merayakan 800 tahun Kidung Matahari dan 10 tahun Laudato Si', tongkat estafet itu diserahkan kepada pemimpin baru Gereja Katolik: Paus Leo XIV.
Terpilih dalam konklaf pada awal Mei 2025, Kardinal Robert Francis Prevost, O.S.A. (putra Chicago yang lama menjadi misionaris di Peru) muncul di balkon Basilika Santo Petrus pada 8 Mei 2025 sebagai Paus pertama dari Amerika Serikat. Pemilihan nama Leo bagi saya pribadi mengingatkan bahwa Gereja harus selalu berpihak pada yang terpinggirkan, menjaga perdamaian, dan memperjuangkan keadilan, seperti Leo Agung yang membujuk Attila, dan Leo XIII yang membela hak pekerja di tengah Revolusi Industri.
Sejak hari itu, Paus Leo XIV tak hanya melanjutkan warisan dua Fransiskus (santo dari Assisi dan Paus dari Buenos Aires) tapi menghidupkannya dalam konteks zaman kita. Ia membawa semangat Augustinian: bahwa kasih sejati harus nyata dalam keadilan, dan keadilan sejati lahir dari kasih yang mendalam.
Ketika Hari Doa Sedunia untuk Perawatan Ciptaan tiba pada 1 September 2025, Paus Leo XIV mengingatkan umat:
"Dalam semangat Kidung Matahari yang berusia delapan abad, kita dipanggil bukan hanya untuk merenung, tetapi untuk bertindak. Alam semesta memantulkan wajah Yesus Kristus. Merusak ciptaan adalah luka bagi Sang Pencipta."
Ia pun memperkenalkan Misa Khusus untuk Perawatan Ciptaan, langkah bersejarah yang memungkinkan umat Katolik merayakan kepedulian terhadap bumi dalam Ekaristi, bukan hanya doa ekumenis. Tema yang dipilihnya, "Benih-benih Perdamaian dan Pengharapan", adalah penghormatan langsung kepada Paus Fransiskus, sekaligus seruan untuk tidak menyerah pada keputusasaan.