Lihat ke Halaman Asli

Alfred Benediktus

TERVERIFIKASI

Menjangkau Sesama dengan Buku

Menjadi Diri yang Terlupa, Suara dari Dalam Kabut Demensia

Diperbarui: 25 September 2025   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(olahan qwen AI, dokpri)

Menjadi Diri Yang Terlupa: Suara Dari Dalam Kabut Demensia

Pernahkah kamu membayangkan bagaimana rasanya bangun tidur di rumah sendiri, tapi merasa seperti tamu? Kamar itu familiar. Fotonya tergantung di dinding. Bau masakan dari dapur mengingatkan masa lalu. Tapi entah kenapa... semuanya terasa asing. Kamu tahu ini rumahmu, tapi otakmu seolah ragu, tidak yakin. Orang-orang di sekitarmu yang tersenyum, memanggilmu "Bu", memelukmu erat, mereka terasa seperti orang asing. Kamu ingin mengenal mereka, ingin menyapa, tapi otakmu seperti hardisk yang rusak. Data hilang, password lupa, akses ditolak.

Inilah dunia demensia. Bukan sekadar lupa menaruh kunci atau nama tetangga. Ini tentang kehilangan diri secara perlahan, tanpa bisa berteriak minta tolong.

Dalam Kabut Pikiran: Saat Ingatan Pergi, Perasaan Tetap Ada

Bayangkan hidupmu seperti film yang diputar mundur. Momen-momen indah, pernikahan, kelahiran anak, wisuda, pelan-pelan mengabur. Yang tersisa bukan gambar, tapi perasaan: hangat, bahagia, sedih... tapi tanpa konteks. Seperti lagu yang tinggal melodi, tanpa lirik.

Itulah yang dialami jutaan penderita demensia. Otak mereka kehilangan kemampuan menyimpan dan mengakses ingatan, terutama yang baru. Tapi yang mengejutkan, perasaan mereka tetap hidup. Mereka masih bisa merasakan takut saat disuruh mandi oleh orang asing (padahal itu anak mereka sendiri), malu saat celananya basah karena tidak sempat ke toilet, atau kesepian saat ditinggal sendiri berjam-jam. Cinta pun tetap ada, saat mereka mendengar suara lembut yang dulu sering membacakan dongeng.

Banyak penelitian menunjukkan, meski ingatan mereka rusak, emosi tetap hidup. Bahkan di tahap akhir, ketika kata-kata sudah tak keluar, mereka masih bisa menangis, tertawa, atau menggenggam tangan dengan erat. Yang mereka butuhkan bukan cuma obat, tapi pengertian bahwa di balik tatapan kosong itu, masih tersembunyi hati yang merasakan segalanya.

(olahan GemAIBot, dokpri)

"Aku Masih Di Sini", Jeritan Sunyi yang Tak Terdengar

Secara sosial, demensia adalah penyakit yang sangat menyendiri. Bukan karena orang lain sengaja menjauh, tapi karena komunikasi menjadi tembok tebal. Pernahkah kamu mencoba bicara, tapi kata-katamu selalu salah? Kamu ingin bilang, "Saya lapar," tapi yang keluar malah, "Air panas... mobil biru..." Orang-orang tertawa, diam, atau buru-buru memberimu makan tanpa bertanya.

Lama-lama, kamu berhenti bicara. Lebih mudah diam daripada disalahpahami. Lebih aman duduk di kursi daripada dicemooh karena tersesat di rumah sendiri. Dan perlahan, kamu menghilang dari percakapan keluarga. Tidak diajak ngobrol, tidak diikutsertakan ke acara, tidak lagi difoto, bahkan namamu pun tidak lagi disebut. Kamu hadir secara fisik, tapi secara sosial, kamu hilang.

Di banyak budaya, termasuk kita, demensia masih dianggap aib. "Nanti dikira gila." Maka si tua pun dikurung di kamar belakang, disembunyikan dari tamu. Padahal, yang mereka butuhkan adalah kehadiran, sentuhan, dan pengakuan: "Kamu masih bagian dari kami."

Masih Manusia, Masih Punya Hati

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline