Angin malam menyusup perlahan ke sela-sela pori kulit, menggamit tubuh dalam dingin yang tak hanya fisik, tapi juga mengandung getar-getir mistik. Udara basah, berat oleh aroma tanah, dupa, dan doa-doa yang terucap lirih di bibir mereka yang hendak menapak tilas. Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam ketika kami menapakkan kaki di kawasan Sendang Senjoyo. Malam satu suro telah membuka tirainya, dan tempat ini--yang di malam biasa hanya dihuni suara gemericik air dan desah dedaunan--berubah menjadi pusat kehidupan yang aneh dan menakjubkan. Riuh, namun juga hening. Sibuk, namun terasa sunyi dalam relung jiwa.
Aku bersama seorang kawanku. Langkah kami tak tergesa, sekilas nampak seperti ziarah batin daripada sekadar perjalanan. Sudah lama kami menantikan malam ini--malam satu suro di Sendang Senjoyo yang tahun ini bertepatan dengan malam Jumat Kliwon. Sebuah pertemuan tanggal yang membawa beban spiritual tersendiri. Dan meskipun "wetonku", Minggu Pahing, mengandung pantangan untuk tidak keluar rumah pada malam seperti ini, kaki ini tetap melangkah. Entah karena rasa ingin tahu, entah karena panggilan yang lebih tua dari ketakutan.
Sendang Senjoyo malam tadi menyambut kami seperti kawan lama. Cahaya temaram dari lampu-lampu tenda pedagang memantul di permukaan air sendang yang hitam pekat seperti mata langit jika tanpa secercah cahaya malam itu. Warung-warung dadakan berjajar rapi, menghidangkan mi instan, kopi hitam, gorengan jembak yang mendesis di wajan kecil, serta berbagai dupa untuk mereka yang hendak melakukan ritual. Suara-suara tawa, obrolan, doa, dan langkah kaki bercampur menjadi orkestra yang ganjil. Dalam keramaian ini, ada kesunyian yang mengintai di setiap sudut, menunggu untuk didengar.
Perlu diketahui, bahwa malam satu suro bagi masyarakat Jawa bukanlah malam biasa. Bagi mereka, ini adalah malam transisi, malam sakral di mana tabir antara dunia kasat mata dan yang gaib terasa menipis. Dan kungkum--berendam di sendang dengan tubuh dan hati yang pasrah--adalah salah satu cara untuk menyambutnya. Sebuah ritual penyucian diri yang tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga membasuh jiwa dari segala kekotoran dan beban yang telah menumpuk selama ini.
Di tepi sendang, bayangan tubuh-tubuh yang berendam seperti siluet doa yang terbenam. Beberapa tampak diam, mata terpejam, tangan terkatup atau terbuka, menggenggam sehelai harap. Yang lain bergerak pelan, seperti mengikuti tarian air yang mengalirkan rasa. Suara air yang berkecipak kadang diiringi teriakan lirih, atau gumaman doa yang tak sepenuhnya dapat kupahami. Tapi yang jelas, semua yang datang membawa sesuatu--entah itu niat, luka, atau sekadar pertanyaan.
Aku dan kawanku tidak ikut berendam. Hanya mengamati. Tapi rasanya seolah aku juga turut larut di tengah-tengah mereka, di antara harapan-harapan yang dihanyutkan ke dalam sendang malam itu. Kawan di sebelahku sesekali menyalakan flash kamera gadgetnya. Aku tahu, ia juga sedang menelisik: bukan hanya yang kasat, tapi juga yang tak terucap.
Di sisi lain sendang, beberapa orang ramai-ramai mengelilingi seorang lanjut usia yang duduk sila di sudut sendang. Permainan othok tengah berlangsung--sebuah bentuk perjudian yang biasanya hanya muncul di malam-malam istimewa seperti ini. Bunyi dadu dilempar, sorak-sorai rendah bergema, dan mata-mata tajam mengamati nasib yang tergulung dalam bilah kecil kayu. Ironis, mungkin. Di tempat yang dianggap suci, di momen yang penuh makna, judi berlangsung tanpa malu. Tapi mungkin itulah kenyataan paling jujur dari manusia: di tengah kesucian, selalu ada sisi kelam yang mengiringi dan tak bisa dihindari.
Bandar judi othok sedang menanti taruhan lainnya dari orang-orang yang mengerumuninya sebelum dadu itu dikocok. Sumber: dokumentasi pribadi
Sesekali aku menoleh, mengamati pedagang yang sibuk melayani pelanggan. Wajah mereka tak menunjukkan lelah. Justru ada semacam semangat dalam gerak mereka, seolah malam ini bukan beban, tapi berkah. Dan memang bagi mereka, malam satu suro adalah rezeki yang datang dalam bentuk tak terduga. Mereka telah membuka warung dari siang, menanti malam tiba. Mereka tahu, di antara keramaian ini, ada uang yang bisa dikantongi. Tapi lebih dari itu, ada keterikatan batin, tradisi, dan rasa percaya bahwa malam ini layak untuk dirayakan, meski dengan cara mereka sendiri.
Waktu berjalan perlahan tapi pasti, dua jarum jam di tangan sudah menunjukkan di angka yang sama: 12. Tapi keramaian justru semakin menjadi-jadi. Seorang laki-laki paruh baya dengan berpenampilan layaknya seorang ustad yang disegani oleh warganya datang dengan rombongan orang-orang di belakangnya. Mereka berhenti sejenak, berdoa bersama, lalu sang laki-laki itu menyuruh rombongannya dari kalangan laki-laki untuk memasuki sendang terlebih dahulu.