Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

AI, Audit, Etika, dan Kesehatan Mental: Ketika Mesin Menyentuh Angka dan Jiwa

4 Oktober 2025   06:02 Diperbarui: 4 Oktober 2025   06:02 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI, Audit, Etika, dan Kesehatan Mental (Sumber: Ilustrasi AI)

Artificial Intelligence (AI) kini bukan lagi sekadar alat canggih di ruang teknologi. Ia sudah merangsek masuk ke dua wilayah yang sangat menentukan kualitas hidup kita, yaitu audit keuangan dan kesehatan mental. Satu wilayah berbicara angka dan laporan keuangan, satu lagi bicara perasaan dan jiwa manusia. Keduanya sama-sama penting, keduanya juga sama-sama rapuh jika salah kelola.

Fenomena ini membawa satu pertanyaan besar, apa jadinya ketika keputusan tentang uang dan jiwa manusia kita percayakan pada mesin?

Audit yang Lebih Cepat, tapi Dapat Gelap

Di dunia audit, AI dipuji karena kemampuannya menganalisis data dalam jumlah masif, mendeteksi anomali, dan memangkas waktu kerja. Auditor yang biasanya menghabiskan berhari-hari meneliti laporan, kini dapat dibantu algoritma yang bekerja dalam hitungan detik. Efisiensi naik, produktivitas melesat.

Namun, ada sisi gelapnya. Beberapa studi menyebut sistem AI kerap menjadi black box, AI dapat memberi kesimpulan, tapi tidak jelas bagaimana proses sampai pada kesimpulan itu. Apa jadinya jika AI menandai transaksi "berisiko tinggi" tanpa alasan yang dapat dipahami? Auditor dapat terjebak antara percaya pada intuisi manusia atau tunduk pada logika mesin yang tak dapat dijelaskan.

Lebih parah, AI dapat bias. Data yang dipakai untuk melatih algoritma dapat condong ke arah tertentu, misal perusahaan besar lebih dipercaya daripada UKM, atau transaksi asing dianggap lebih mencurigakan daripada transaksi lokal. Jika bias ini tidak dikoreksi, audit bukan lagi menjaga keadilan finansial, tapi malah memperkuat ketidakadilan.

Kesehatan Mental: AI Jadi Teman Bicara, tapi Dapat Menyesatkan

Di sisi lain, AI juga sedang diuji di ranah kesehatan mental. Chatbot berbasis AI kini diposisikan sebagai "teman curhat" yang siap 24 jam mendengar keluhan tentang stres, depresi, atau kecemasan. Di negara dengan kekurangan psikolog atau psikiater, layanan ini terlihat seperti penyelamat.

Tapi ada catatan dari para peneliti yang harus diperhatikan, yaitu AI belum siap menangani krisis serius. Dalam kasus ide bunuh diri, misalnya, chatbot kadang memberikan jawaban yang terlalu normatif, bahkan menyesatkan. Bukannya mendorong seseorang mencari bantuan profesional, AI justru dapat meninabobokan pengguna dengan jawaban "tenang...semua akan baik-baik saja". Ini bahaya besar.

Ada juga soal privasi. Data kesehatan mental adalah salah satu data paling sensitif. Bayangkan jika percakapan intim tentang trauma atau depresi bocor, atau digunakan untuk tujuan komersial. Luka pribadi dapat berubah jadi barang dagangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun