Persimpangan Etika, Angka dan Jiwa Sama-sama Taruhannya
Kalau ditarik benang merahnya, ternyata audit dan kesehatan mental menghadapi dilema etis yang mirip ketika AI masuk ke dalamnya: (1) Bias algoritmik, angka dapat menipu, perasaan dapat salah ditafsir. AI yang bias dapat merugikan pihak tertentu, baik di laporan keuangan maupun dalam diagnosis psikologis; (2) Transparansi, tanpa penjelasan yang masuk akal, kepercayaan pada hasil AI runtuh. Orang butuh tahu: kenapa laporan ini bermasalah, kenapa saya disebut depresi? (3) Akuntabilitas, jika AI salah, siapa yang bertanggung jawab? Pengembang, organisasi, atau pengguna? Ini pertanyaan hukum sekaligus moral yang belum ada jawaban tuntasnya; (4) Privasi, data finansial dan data kesehatan mental sama-sama sensitif. Kebocoran dapat menghancurkan reputasi, karier, bahkan hidup pribadi seseorang; (5) Otonomi manusia, AI seharusnya "membantu", bukan "menggantikan". Auditor tetap harus memutuskan, psikolog tetap harus menilai. Mesin hanya boleh jadi pendamping, bukan penguasa.
Jangan Sekadar Checklist Etika
Pengalaman perusahaan besar seperti AstraZeneca menunjukkan audit etis AI tidak cukup dengan daftar periksa di atas kertas. Budaya etis dalam organisasi diperlukan di dalamnya. Sama halnya di layanan kesehatan mental, chatbot tidak dapat sekadar memenuhi regulasi teknis, tapi harus diuji dampaknya pada pengguna nyata, bekerja sama dengan psikolog, regulator, dan komunitas.
Ini artinya etika bukan hanya jargon, tapi harus hidup dalam praktik sehari-hari. Ada evaluasi berkala, audit independen atas sistem AI, serta jalur eskalasi yang jelas ketika AI menemui situasi krisis.
AI Sebagai Aktor Moral
Pertanyaan besar muncul, apakah AI hanya sekedar mesin, atau kini sudah menjadi aktor moral? Kenyataannya, AI sudah ikut menentukan nasib orang, apakah laporan keuangan dianggap wajar, apakah seseorang dikategorikan depresi. Itu keputusan moral yang efeknya nyata.
Jika tanpa etika, AI hanyalah mesin dingin yang menghitung untung rugi. Tapi dengan kerangka etika, AI dapat jadi co-pilot yang menjaga integritas sistem keuangan sekaligus kesejahteraan psikologis manusia.
Jangan Terpesona, Jangan Paranoid
Kita tidak boleh terlalu terpesona dengan janji AI, tapi juga tidak perlu paranoid seolah semua teknologi pasti membawa bencana. Yang kita butuhkan adalah sikap realistis: memanfaatkan kelebihan AI dengan tetap menjaga pagar etika.
Audit butuh keadilan finansial. Kesehatan mental butuh empati manusiawi. Keduanya kini sama-sama disentuh AI. Taruhannya besar, karena angka dapat salah, jiwa dapat terluka. Maka jawabannya sederhana tapi berat, jangan biarkan mesin berjalan sendiri. Pastikan etika yang dimiliki manusia selalu di kursi kemudi.(AM)